5. Joshua

33 10 0
                                    

“Menurut lo, Catherine bener-bener terlibat, nggak?” Bryan bertanya saat kami berjalan beriringan menuju kamarku, yang kini sudah kembali berpenghuni lengkap setelah sempat kutinggali sendirian selama beberapa hari lantaran Luke menjadi korban penyekapan Topeng Putih. Aku melirik cowok di sebelahku, menimbang-nimbang apakah perlu mengingatkan bahwa ini sudah ketujuh kalinya ia meluncurkan pertanyaan yang sama seperti kaset rusak sejak mendengar kesaksian Gwen kemarin sore—aku punya perasaan kuat bahwa ia tidak sadar akan hal itu.

“Perlu gue record aja, jawaban gue?—Siapa tahu lo lupa lagi, ntar,” selorohku. Sebenarnya, niatku hanya bercanda. Tetapi, di luar dugaan, Bryan menanggapinya serius, sampai mengalihkan pandangan ke lantai dengan gugup seperti baru tertangkap basah melakukan sesuatu.

“Sori. Bukannya nggak percaya. Gue cuma—”

Reaksi itu membuatku langsung terbahak sambil menepuk punggungnya bersahabat. “Takut, ya, lo, sama gue? Takut gue ngambek lagi dan nggak mau ngobrol sama lo selama berhari-hari?” godaku. “Wah, hebat. Gue menemukan kelemahan Bryan Blake. Perlu gue kasih tahu ke Topeng Monyet, nih? Atau Andrew, biar seru?”

“Asem banget,” Bryan membalas dengan tampang kecut, “Ya, gimana nggak takut? Lo sadar, nggak, sih, lo kalo ngambek, ngerinya kayak gimana? Apalagi, pas tiba-tiba ngatain gue di kamar Alice. Kaget, gue.”

“Ya sori, lah,” balasku, “Lain kali, gue spoiler-in dulu, deh, kalo mau ngambek—biar nggak jadi jumpscare.”

“Lu kata, film horor bioskop?” Bryan membalas sebal, tetapi detik setelahnya, kami berdua tersenyum geli. Saat pintu kamarku sudah tinggal tiga langkah jauhnya, aku berhenti berjalan sejenak, membuat Bryan juga ikut berhenti dan menatapku bertanya-tanya.

“Soal Catherine,” mulaiku dengan nada rendah, berusaha sebisa mungkin agar tidak ada yang mendengar, “Gue tahu, lo nanyain karena nggak bisa percaya Gwen seratus persen, tapi—”

“Tunggu, tahu dari mana lo?”

Aku menatap Bryan putus asa. Sohibku ini memang pintar, tetapi kadang, sifat keras kepalanya itu membuatnya sangat clueless. Walaupun sukses menutupi maksud terselubungnya, caranya mengulang-ulang pertanyaan yang sama dengan nada penuh selidik pada akhirnya malah membuat maksudnya jadi sangat jelas. Dia bisa saja memutuskan untuk mencetak isi pikirannya dengan huruf kapital di atas papan raksasa untuk digantungkan di leher dan itu bakalan nggak ada bedanya.

“Tertulis di jidat lo,” jawabku, membuat Bryan tanpa sadar mengusap jidatnya. “Intinya, sih,” kataku, “Gue paham, susah banget percaya gitu aja sama orang, terlebih yang nggak deket sama lo. Jadi, gue juga nggak akan maksa lo buat ikut-ikutan percaya. Tapi, entah gimana keputusan lo pada akhirnya, nggak mengubah kenyataan kalo kita harus siap menghadapi kemungkinan terburuk itu, kan? Gue juga tetep bakal hati-hati sama semua orang dan berusaha menyaring semua info yang gue denger, tapi untuk sementara ini, gue masih percaya Gwen.”

Saat mengatakan hal itu, bayangan mengenai suara yang kudengar di tepi kolam waktu itu terlintas—suara yang familier, tetapi asing dalam waktu yang bersamaaan. Saat mendengar nama Catherine dicetuskan oleh Gwen, semuanya menjadi masuk akal. Suara itu… aku tidak mungkin salah mengenalinya. Orang di tepi kolam itu memang Catherine, walaupun tanpa topeng cewek manis yang biasa ditampakkannya. Kalau aku bisa merekam kejadian itu dan menunjukkannya pada yang lain dalam bentuk film, akan kulakukan, supaya mereka bisa memutuskan sendiri. Hanya saja, saat ini, pemikiran untuk ngotot di hadapan mereka, saat masing-masing sedang mulai mencurigai orang-orang terdekat, memertahankan keyakinan yang asalnya cuma dari persepsi pribadiku saja, rasanya benar-benar bukan pilihan yang tepat.

Bryan menghela napas panjang. “Iya, deh. Lo bener soal harus siap menghadapi kemungkinan terburuk,” akunya. “Ya udah, kita lihat aja perkembangannya gimana.”

[COMPLETED] Fall of the Last FortressWhere stories live. Discover now