82. Bryan

23 6 0
                                    

"NYARI GUE KAN!? GUE DI SINI!"

Aku bahkan belum sempat berpikir saat Alice menerjang keluar dari ruangan dan mengumumkan keberadaannya keras-keras seolah-olah ia memiliki rencana yang sudah matang.

Untung saja refleksku bukan berteriak, melainkan duduk kembali dengan jantung berdebar kencang dan napas memburu, sambil berusaha keras untuk tidak menimbulkan suara. Di luar, bunyi derap kaki para keroco kekar yang berlari mengejar Alice terdengar, makin lama makin menjauh, hingga akhirnya aku bisa mengembuskan napas yang tanpa sadar kutahan saat bunyi itu sudah benar-benar hilang di kejauhan.

Tentu saja aku akan terdengar kejam, tetapi aku lega Alice bisa memikirkan pengalihan seperti itu dalam waktu yang singkat. Aku tahu Alice akan tertangkap, tetapi seperti yang sudah kami semua lihat di dalam ruangan penyekapan tadi, mereka tidak akan melakukan apa-apa terhadap dirinya selama masih ada Catherine. Bahkan, Queen yang sedang membabi-buta sampai memotong dua jari kaki Sam saja tetap tidak bisa menang melawan Catherine saat ia mencoba menyentuh Alice. Jadi, kurasa keputusan Alice barusan memang yang terbaik yang bisa dilakukan di situasi ini.

Tidak apa-apa. Aku akan menyelamatkan dia. Tetapi, sekarang, aku harus melakukan yang terbaik seorang diri dahulu. Aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang sudah diberikan oleh Alice.

Setelah memastikan berulang kali bahwa ruang tamu di depan sudah aman, aku mengendap-endap keluar. Hanya tersisa satu ruangan yang belum kuperiksa bersama Joshua, jadi sudah pasti itu adalah ruang CCTV yang disebut-sebut Alice. Ruangan gelap itu memiliki pintu kayu yang sama dengan pintu-pintu lain. Namun, tidak seperti ruangan-ruangan lain yang cukup normal, di dalamnya, belasan monitor raksasa berjajar, menampilkan rekaman live dari berbagai lokasi yang familier.

Beberapa monitor menampakkan rekaman di dalam basement dan sekitar bangunan markas tempat kami berada saat ini. Dari monitor-monitor tersebut, aku bisa melihat teman-temanku. Joshua dan Stalker yang pingsan sedang dibawa oleh para keroco menyusuri lorong panjang, entah menuju ke mana. Alice sedang dibekuk oleh keroco-keroco yang lain di dalam gudang alat kebersihan tempat aku mengambil senjataku tadi. Ia tidak melawan, tetapi aku bisa melihat sekujur tubuhnya tegang. Sepertinya, ia akan dibawa ke tempat lain.

Aku bisa melihat Sam dan Rosaline bersembunyi di dalam ruangan penuh piala, tetapi secara mengejutkan, mereka bisa menutupi diri mereka cukup baik dari jangkauan CCTV. Aku hanya menyadari keberadaan mereka karena Sam sempat bergerak. Kalau tidak, mungkin aku juga tidak akan menemukan mereka. Harus kuakui, mereka cukup luar biasa.

Tetapi, yang paling luar biasa adalah Gwen.

Aku tidak melihat Gwen di mana-mana. Ia seperti hantu yang tak kasatmata. Aku tahu, ia memang orang yang sangat waspada dan cerdas. Tetapi, aku tidak menyangka kemampuannya untuk menghindari CCTV secanggih ini, bahkan saat aku yakin ia sedang terus bergerak mencari bukti.

Yah, apa pun itu, aku harus kembali memerhatikan Alice dan Joshua dulu. Dalam hati, aku mengingat-ingat rute yang dilewati mereka berdua—setiap belokan dan ruangan-ruangan penting yang mereka lewati, hingga akhirnya mereka tiba di tempat tawanan masing-masing. Alice diletakkan di sebuah kamar tidur yang bahkan lebih bagus lagi daripada tempat kami semua ditawan tadi. Kamar itu bahkan memiliki kipas angin yang bekerja. Sementara itu, Joshua dimasukkan ke dalam sebuah bangsal sempit yang kosong melompong seperti bangsal penjara.

Setidaknya ia tidak benar-benar ditawan di dalam lemari pantry seperti dugaannya.

Aku tersenyum kecil. Sekarang, aku tahu lokasi mereka berdua, dan aku pun sudah lebih familier dengan denah basement ini. Aku yakin bisa membebaskan mereka nanti. Tetapi, sekarang, aku punya tugas yang lebih penting di depan mata.

[COMPLETED] Fall of the Last FortressWhere stories live. Discover now