33. Alice

26 9 0
                                    

"SAKIT JIWA!?" "Gangguan psikotik?" aku membeo, berbarengan dengan Sam yang memekik heboh ketika Joshua menceritakan apa yang baru saja ditemukan Luke saat dimintai keterangan oleh pengacara.

"Jangan teriak-teriak, bego. Lo narik perhatian seisi kantin, tahu?" hardik Joshua sambil menoyor kepala Sam kuat-kuat. "Iya, gangguan psikotik. Hasil tesnya kira-kira kayak yang gue tunjukin tadi."

"Tapi... Masa Pak Stenley sakit jiwa, sih?" tanya Rosaline masih meragukan.

Benar. Masa seorang kepala sekolah sekaligus kepala panti asuhan mengidap gangguan jiwa? Lagipula, setahuku tempat ini sudah lama dibangun dan dikepalai oleh Pak Stenley, dan semuanya berjalan dengan lancar-lancar saja, kan? Maksudku, kalau dia gila, mana mungkin bisa membuat panti asuhan sebagus ini bertahan bertahun-tahun?

"Sebenernya..." Bryan menggantungkan kalimatnya di udara. Lengan kanannya masih dibebat perban dan tidak boleh terlalu sering digunakan, jadi ia satu-satunya yang tidak makan di jam istirahat ini karena merasa tidak nyaman. Melihatnya seperti itu, rasa bersalah kembali merayap ke dalam sudut hatiku. "Mungkin aja, sih. Setelah gue baca, gejalanya kayak sulit tidur, perasaan gelisah, marah-marah nggak jelas, jalan pikirnya aneh juga. Cocok sama beliau nggak, sih?"

"COCOK! COCOK BANGET!" Sam mengangguk heboh, membuat Joshua harus membekap mulutnya agar ia tidak menarik lebih banyak perhatian. Memang, cuma Joshua yang bisa menjadi pawang seorang Sam.

"Tapi, semua orang bisa aja gelisah, marah-marah, dan sebagainya itu, sih, menurut gue. Maksudnya, kalo cewek lagi PMS, kan, sama aja kayak gitu, dan bukan gangguan psikotik." jelasku.

"Apa, sih, Josh! Kan, gue cuma mau terlibat diskusi dengan ngungkapin pendapat gue, masa nggak boleh? Ini, kan, negara penuh demo." "Iya, sih. Gejalanya mirip cewek PMS." Rosaline mengangguk setuju, berbarengan dengan omelan Sam yang tidak ada habisnya.

"Demokrasi, Sam. Jangan disingkat-singkat, jadi nggak bener konteksnya." Bryan mengoreksi.

"Nggak gaul, lo, Bry. Itu, kan, disingkat biar asik, biar gehol." "Tapi, surat medis masa salah, sih?" Lagi-lagi, perkataan Sam membarengi kalimat Rosaline.

Astaga, otakku tidak bisa terbagi ke dua percakapan yang bertolak belakang seperti ini. Yang satu membahas masalah yang sangat rumit, dan yang satu lagi berdebat kusir tentang kata demo dan demokrasi. Akhirnya, aku memilih untuk diam saja.

"Kalo menurut gue, mungkin aja... Pak Stenley terlibat?" kata Rosaline ragu-ragu. "Bukti-bukti mengarah ke dia, termasuk senjata yang ditemukan tersembunyi di kantornya. Waktu di bawah tanah juga, gue sempet denger suara Pak Stenley, sama kayak yang didenger Luke. Mungkin aja memang dia salah satu anteknya Panji? Toh, mereka sama-sama sakit jiwa."

"Gue setuju." Sam akhirnya memutuskan untuk nimbrung dalam diskusi serius. "Kalo anjing bulldog terlibat, gue nggak bakal kaget, sih. Sehari-harinya aja garang banget kayak macan beranak. Mungkin aja kalo dia kesel pelampiasannya, ya... makan anak panti asuhan. Ini bukannya gue nggak serius, tapi perumpamaan, guys; metabolisme."

"Gue no comment, deh." sahut Andrew sambil nyengir, mungkin sedang menertawakan kalimat Sam dalam hati seperti yang kulakukan sekarang.

"Kalo menurut Luke, bisa jadi surat hasil tes ini sengaja disembunyiin sama si Topeng biar Pak Stenley dihukum seberat-beratnya. Seandainya surat ini disebar ke khalayak umum... Mungkin beliau masih bisa diringankan atau bahkan dibebaskan karena punya penyakit kejiwaan." jelas Joshua, terdengar masuk akal. "Tapi suratnya udah di tangan pengacaranya Stenley sih, cuma yang jadi pertanyaannya... Pengacaranya di pihak siapa?"

"Gue setuju. Bisa jadi pengacaranya mihak Topeng Putih, sih. Meskipun Pak Stenley juga punya backing polisi, buktinya dia tetep bisa jadi tersangka dan ditahan sementara. Mungkin bisa jadi pengacaranya juga bagian dari rencana Topeng Putih." sahut Rosaline.

[COMPLETED] Fall of the Last FortressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang