8. Alice

33 9 0
                                    

Sudah satu jam lamanya aku terpaku menatap langit-langit kamarku.

Pada akhirnya, aku membujuk Sam agar keluar dari kamarnya sendirian tadi. Ternyata, Bryan dan Joshua sedang menemani Luke saat jam makan tadi. Meskipun beberapa kali mereka berusaha mencuri pandang untuk mengisyaratkan padaku agar menunggu, tapi aku cukup yakin kalau Luke juga sedang butuh teman untuk mengobrol sekarang, dan kurasa akan terlalu lama untuk menunggu mereka. Lagipula, aku juga kasihan pada Luke kalau ditinggalkan begitu saja. Rosaline yang tampak tidak sehat juga kusuruh kembali ke kamar lebih cepat setelah makan, karena kurasa dia juga butuh waktu istirahat. Sedangkan Andrew tampak sedang asyik mengobrol dengan Fellicia—mungkin ia lupa tentang janji kami membujuk Sam.

Yah, kalau sudah menyangkut Fellicia, sepertinya semua hal direlakan olehnya.

Tapi aku juga tidak habis pikir, kenapa Lampu Merah berjalan itu terus-terusan menggodaku kalau sebenarnya dia sudah punya Fellicia? Padahal dia bukan tipe playboy yang suka meng-ghosting orang, kan? Maksudku, kalau dia memang playboy, seharusnya reputasinya bakal terkenal di antara anak-anak panti asuhan, dan dia dikerubungi oleh pasukan cewek, kan? Alih-alih dikerubungi cewek, ia malah disegani oleh semua orang karena terkenal kasar.

Nggak tahu, ah. Lagipula, untuk apa aku memikirkannya.

Aku menoleh ke kasur Catherine, dan lagi-lagi perasaan menyengat muncul di dalam hatiku. Biasanya kalau aku sedang bingung seperti ini, Catherine pasti memiliki solusi. Gadis itu benar-benar punya kemampuan A+ di semua bidang. Kalau aku bertanya soal pelajaran, ia pasti bisa membantu, tentang pertemanan, dia juga bisa membantu. Waktu aku mengorek informasi tentang Andrew darinya saat pertama masuk ke sini, ia juga bisa tahu banyak. Benar-benar membuatku kangen padanya, deh.

Rasanya, tanpa adanya Catherine, kamar ini sangat sepi.

Di mana pun ia berada sekarang, aku amat sangat berharap ia baik-baik saja.

Aku menghela napas panjang, berusaha untuk meredam air mata yang sudah mengintip di balik kantung mataku. Aku termasuk tipe orang yang mudah sekali menangis. Kalau ada sesuatu yang sedih sedikit saja, pasti air mataku keluar dengan sendirinya. Terkadang hal ini juga memalukan, tapi aku tidak tahu harus bagaimana mengatasinya.

Cklek…

Suara pintu dibuka, membuatku langsung berjengit kaget dan berdiri dari kasur. Masa aku lupa mengunci pintu kamar, sih? Kulirik jam dinding di dekat kasur. Sudah jam setengah sembilan malam. Sekarang adalah jam-jam di mana tamu tidak seharusnya datang—jam favorit Andrew untuk datang ke kamarku. Pasti ia berniat mengacaukan perasaanku lagi, deh. Pokoknya, kali ini aku tidak boleh terpancing. 

“Jangan baper, Lice.” gumamku sambil merapikan baju dan rambutku.

Ketika melihat sosok yang berdiri di ambang pintu bukanlah cowok tinggi berambut merah melainkan sosok lain yang tak pernah kuduga akan muncul saat ini, mataku langsung membelalak. Saking bingungnya, aku sampai tidak bisa bereaksi apa pun, hanya menatap sosok itu dalam diam.

Itu Catherine.

Ketika pintu terbuka, ia langsung berlari dan memelukku erat sambil berurai air mata. Dapat kurasakan air matanya membasahi bahuku yang kini menjadi sandaran dagunya. Saking terkejutnya, aku tetap tidak bisa bereaksi apapun. Hal pertama yang kulakukan adalah menggigit lidahku sendiri, memastikan semua ini bukanlah mimpi.

Sakit.

Ini bukan mimpi? Catherine benar-benar kembali dalam keadaan sehat dan kini ia tengah memelukku. Aku langsung mengangkat tanganku dan memeluknya balik. Air mata mengalir dengan sendirinya membasahi wajahku. Rasanya aku sangat sangat sangat lega dan senang. Sudah kuduga, peristiwa yang dialami Gwen tidak ada hubungannya dengan Topeng Putih, apalagi Catherine.

[COMPLETED] Fall of the Last FortressWhere stories live. Discover now