70. Alice

28 9 0
                                    

Aku sudah terlanjur memikirkan berbagai skenario memusingkan yang perlu dikatakan pada Pak Tono, tapi akhirnya, beliau malah tidak ada di rumah. Aku sudah mengetuk beberapa kali pagar rumahnya sambil meneriakkan kata "Permisi" sekeras mungkin, namun tidak ada satu orang pun yang muncul. Mungkin sudah lima belas menit aku berdiri di sini tanpa hasil.

"Yang punya rumah lagi keluar kota Dik, ada perlu apa? Mungkin saya bisa bantu sampaikan." Seorang wanita berumur empat puluhan tiba-tiba muncul dari balik pintu rumah tetangga.

"Ah, begitu. Perkenalkan Bu, saya Alexandra, dari Universitas Negeri Jakarta. Saya diminta dari universitas untuk melakukan survei mengenai lahan. Dengar-dengar dari beberapa orang setempat di sini benar rumahnya Bapak Tono, ya?" kataku sekenanya.

Ibu itu tampak bingung beberapa saat, lalu menjawab, "Kalau Pak Tono sih, benar. Tapi Pak Tono setahu saya nggak punya lahan, Dik. Jangan-jangan bukan Pak Sutono yang dimaksud? Tapi Pak Hartono?"

Astaga, benar juga. Siapa juga yang bilang orang desa yang cukup berpenghasilan selalu punya lahan. "Oh, ini bukan rumahnya Pak Hartono ya, Bu? Saya kira di sini rumahnya, hehe." sahutku sekenanya sambil menggaruk belakang kepalaku. "Tapi, di alamatnya kayaknya rumahnya di sini."

"Iya, kayaknya salah alamat deh. Soalnya Pak Tono nggak punya lahan, dia pensiunan pedagang dari kota." jelasnya.

Pensiunan pedagang? Kalau sudah pensiun, bukannya berarti umurnya sudah tua, ya? Masa Panji datang ke sini ngaku-ngaku sebagai pensiunan pedagang? Tapi aku bingung, bagaimana cara mengorek informasi lebih soal Pak Tono agar tidak terkesan mencurigakan, ya?

Tring...

Ponselku tiba-tiba menerima sebuah pesan.

"Oh, gitu ya, Bu. Sebentar saya coba cek dulu alamatnya." dalihku sambil membuka ponsel untuk melihat pesan dari Sam.

Kayaknya Panji itu Pak Didik, deh. Otw ke Jalan Cendana No. 15.

"Wah, iya Bu, ternyata saya salah alamat. Ini bukan Jalan Cendana, ya?" tanyaku sambil tersenyum polos.

"Oh... Kalo Jalan Cendana bukan di sini Dik, itu nanti lurus aja ke arah sana, terus belok kanan. Lurus lagi, ada perempatan tinggal belok ke kiri. Tapi setahu saya, yang tinggal di sana cuma ada Pak Guntur sama Pak Didik lho. Nggak ada yang namanya Pak Tono." jelas ibu itu tanpa diminta.

"Tapi ada yang punya lahan Bu?" tanyaku memancing informasi.

"Wah, saya kurang dekat sih. Mereka jarang ikut kumpul warga, anti sosial orangnya. Mungkin sibuk, ya, soalnya orang kaya." sahutnya tampak sedikit tidak senang. "Kayaknya susah juga orangnya buat dimintain tolong."

Aku mengangguk tanda mengerti, "Iya Bu, nggak apa-apa. Saya coba dulu aja, siapa tahu bisa. Terima kasih banyak ya, Bu. Maaf merepotkan."

"Iya Dik nggak apa-apa. Eh ngomong-ngomong kamu udah punya pacar belum, nih? Kalau lagi KKN sama belum dapet pacar, mampir rumah ibu aja sekali-sekali. Ibu kenalin sama anak Ibu, ganteng, lho." godanya.

Aku hanya bisa tertawa kecil sambil berbasa-basi, "Kalau bisa saya mampir lagi, Bu."

Tanpa membuang waktu lebih lama lagi, aku segera berjalan cepat menuju alamat yang dikirimkan Sam. Walaupun sebenarnya Pak Tono mungkin adalah Panji yang sedang pergi untuk mengecek keadaan di kantor kepolisian, tidak ada salahnya mengecek tempat Pak Didik terlebih dulu. Lagipula, aku tidak mungkin memanjat pagar rumah Pak Tono dan menggeledah rumahnya dengan ibu tetangga yang masih berkeliaran dan mengamati gerak-gerikku, kan?

Begitu sampai, Sam sudah duduk manis di atas kursi plastik sambil mengayunkan handuk yang dikalungkan di leher sebagai kipas. Ia duduk di belakang gerobaknya—sepertinya supaya tertutup dari mata-mata yang mungkin sedang mengintai kami. Mau tidak mau, aku sedikit melirik ke arah pohon-pohon dan beberapa tempat bersembunyi lain untuk mencari siapa tahu ada agen yang sudah siap membolongi kepala kami dengan peluru. Namun hasilnya nihil.

[COMPLETED] Fall of the Last FortressWhere stories live. Discover now