90. Alice

30 6 2
                                    

Aku tidak tahu sudah berapa lama aku disekap di dalam kamar pengap ini. Air mataku sudah kering. Aku merasa kosong. Tenagaku sudah terkuras habis karena sejak tadi berusaha menggosokkan tali tambang yang mengikat tangan dan kakiku ke pinggir kasur—seperti yang kulihat di film-film, berharap tali itu akan menjadi tipis dan akhirnya putus. Tapi ternyata usaha itu sia-sia. Seperti semua usaha yang kami lakukan selama ini, semua yang kami perjuangkan, semuanya sia-sia. Apakah hari ini akan jadi akhir hidupku? Atau aku malah akan dibawa ke mana-mana menjadi boneka barbie milik Catherine?

Uhuk...

Tiba-tiba aku terbatuk karena mencium bau terbakar dari luar. Aku melihat, asap abu-abu yang tebal masuk melalui celah pintu. Apa yang terjadi di luar sana? Apa mereka sedang membakar jasad teman-temanku? Apa semuanya sudah berakhir?

Tidak. Tidak mungkin kami kalah.

Entah apapun yang terjadi di luar sana, aku harus percaya. Setidaknya, dengan begitu, aku bisa mengirimkan doa dan harapanku pada mereka semua, teman-temanku, yang masih berjuang. Aku yakin mereka pasti bisa menemukan jalan keluarnya sendiri, seperti kami yang selalu bangkit dan mengejar meskipun selalu ketinggalan satu langkah. Selain itu, mungkin Catherine benar, mungkin Andrew berpindah pihak ke pihak kami dan kami punya satu tambahan orang lagi. Aku belum memaafkannya, tapi kalau ia berguna bagi rencana kami aku tidak akan menolak bantuannya.

Ctas...

Seiring dengan meningkatnya harapanku, tali di tanganku tiba-tiba terputus. Aku tidak tahu ini kebetulan atau memang tali itu lama kelamaan menipis karena kugesek terus menerus dengan dipan kasur, tapi aku ingin percaya kalau semesta masih berpihak pada kami. Kalau mereka tidak bisa melanjutkan misi... Kalau seandainya benar teman-temanku tertangkap, aku harus menyelesaikan yang kami mulai. Aku tidak bisa membiarkan teman-temanku gugur sia-sia dan mereka, penjahat yang memulai semua kegilaan ini, kabur tanpa bertanggung jawab.

Setelah melepaskan ikatan pada kakiku, aku membuka pintu yang ternyata tidak dikunci itu dan mendapati markas raksasa ini sedang dilahap api. Perlahan, namun pasti, seluruh dinding, seluruh isi yang ada di dalam markas berubah menjadi abu. Aku kembali ke dalam kamar dan mengambil sprei kasur untuk menutup hidung. Ini seperti satu tahun yang lalu, saat rumahku dibakar oleh para maniak itu dan aku, seorang diri, harus berlari keluar dari kebakaran yang mereka perbuat.

Aku berjalan menuju pintu keluar sesuai dengan ingatanku saat disekap kemari.

"Lice!" Aku merasa seseorang seperti memanggil namaku dengan sangat lirih.

Panggilan yang awalnya kukira hanya ada di imajinasiku itu, menjadi semakin keras.

"Bryan?" pekikku. "Bryan!"

Tak butuh waktu lama sampai Bryan berhasil menemukan lokasiku. Ternyata Catherine hanya menggertak soal Bryan dan Gwen sudah dilumpuhkan, buktinya cowok itu kini berdiri dengan tegak di hadapanku sambil memakai masker gas yang entah dia curi dari siapa. Di tangan kanannya tergenggam satu masker gas lain yang langsung ia pakaikan padaku. Aku langsung bisa bernapas dengan lega, dan pandanganku tidak lagi buram setelah mengenakannya. Ternyata masker gas segini berguna, ya.

"Kenapa ini? Gas mereka meledak?" tanyaku pada Bryan yang kini menggandeng tanganku dan menuntunku menuju pintu keluar.

"Nggak tahu tepatnya kebakarannya kenapa, tapi harusnya kita udah menang."

"Hah? Kok bisa?"

"Lo nggak denger suara sirene? Ada seseorang yang ngebunyiin sirene."

"Loh, gue nggak denger sama sekali."

"Lah... Iya sih, tempat lo disekap jauh banget soalnya, gue udah muter-muter nyariin dari tadi padahal."

"Loh, kebakarannya udah dari tadi?"

[COMPLETED] Fall of the Last FortressWhere stories live. Discover now