29. Rosaline

18 10 0
                                    

Kepalaku rasanya mau pecah mendengar seluruh informasi penting sekaligus. Siapa yang menyangka kalau Catherine, selain merupakan sosok di balik Topeng Putih, juga merupakan anak balita Walker yang membunuh ayahnya sendiri beberapa tahun lalu? Belum lagi, ternyata ibunya adalah salah satu anggota geng underground ilegal, dan menyelingkuhi pebisnis milyuner itu dengan Panji, yang merupakan anak dari pasutri penjual barang ilegal.

Apa memang keluarga itu nggak waras, ya?

Kalau aku jadi istri atau minimal anak Walker yang punya perusahaan dan rumah semegah itu, tentu aku sangat bersyukur sekali dan nggak akan aneh-aneh. Untuk apa cewek itu menyelingkuhi Pak Walker dan memilih untuk lari bersama penjual barang ilegal? Eh, tapi, Pak Walker sendiri juga dikabarkan sering gonta-ganti cewek, sih, dan hampir tidak pernah mengatakan ia sudah punya istri. Mungkin perbuatan ibu Catherine masih bisa masuk akal, karena tidak mendapat cinta, jadi sekalian kabur saja.

Tapi, bagaimana dengan Catherine? Kenapa Catherine malah membunuh ayahnya sendiri padahal jika ia diam saja, ia bisa menikmati kehidupan bangsawan? Maksudnya, kalau seandainya aku punya ayah yang seperti itu, mungkin aku tetap akan diam saja, sih. Toh, itu juga urusannya, yang penting aku bisa hidup enak tanpa mengkhawatirkan biaya masa depan sekarang. Memang, bocah empat tahun belum kenal pentingnya uang. Apa mungkin diam-diam dia sedikit menyesal, ya, sekarang?

Oke, itu terdengar sangat materialistis, tapi sorry not sorry.

Begitu kami diperbolehkan masuk ke kamar Bryan, Joshua adalah yang paling cepat mendekat ke kasur dan mengecek kondisi sahabatnya itu. Tapi, di luar dugaan, Alice juga melesat hampir sama cepatnya dengan Joshua ke samping Bryan.

"Lo nggak apa-apa, Bry?" tanya Alice dengan mata berkaca-kaca.

Cowok itu masih terbaring di kasur dengan lengan yang dibebat perban. Wajahnya pucat pasi dan matanya dipejamkan, sedang menahan sakit setelah bius di tubuhnya sudah berangsur menghilang.

"Nggak apa-apa, kok. Cuma luka dikit aja." timpalnya, kentara sekali bohong.

"Luka dikit apanya?" Joshua ngomel, rona sudah kembali ke wajahnya yang sempat memucat ketika mendengar Bryan harus dioperasi karena ada peluru di dalam lengannya.

"Sorry, gara-gara gue... Lo harus—"

"Bukan salah lo. Gue ketembak karena gue memang mau ngehadang pelurunya buat lo." Bryan buru-buru memotong perkataan Alice, membuat hatiku meleleh seketika. Kapan, ya, aku bisa punya cowok ganteng yang rela berkorban seperti Bryan pada Alice? Lebih bagus lagi kalau cowok ganteng itu Joshua...

Aku melirik Joshua yang masih menatap Bryan, setengah iba, setengah geram. Hidungnya masih diperban dan noda merah tampak sedikit membasahi area hidungnya yang patah. Ketika mendampinginya tadi, aku sempat mendengar dari dokter kalau lukanya agak parah. Tapi Joshua tetap santai dan biasa saja, malah wajahnya lebih pucat ketika ia mendengar berita tentang Bryan daripada saat mendengar hidungnya patah. Sepertinya ia memang cowok yang tahan banting.

"Sorry ngeganggu acara menye-menye ini, tapi kita punya sesuatu buat dibahas." sahut Andrew sewot sambil bersandar pada tembok di balik ranjang Bryan.

Setelah membaca papan di rumah mendiang Walker itu, setiap kali aku melihat wajah Andrew, kata 'pengecut' seakan ditulis besar-besar di dahinya. Aku tidak pernah menyangka di balik tampang garang dan kasar yang selalu ia tunjukkan pada semua orang, sampai-sampai membuat orang lain menjadi segan dengannya, tersimpan sifat yang pengecut. Aku hampir tidak bisa memercayai kata itu kalau saja yang menuliskannya bukan orang jenius macam Topeng Putih. Padahal, aku dan dia sama-sama penakut, kenapa kami kian berbeda? Ia, disegani semua orang, dan aku, hanya tokoh tambahan yang bahkan tidak pernah digubris.

[COMPLETED] Fall of the Last FortressWhere stories live. Discover now