18. Bryan

19 8 0
                                    

Ruang UGD masih diliputi keheningan canggung saat Gwen masuk, didampingi Joshua, Rosaline, dan Inspektur Owen. Aku tidak tahu kapan petugas polisi itu tiba, tetapi aku berharap, kehadirannya akan membuat suasana lebih kondusif.

Beberapa saat yang lalu, Gwen berteriak, membuat Pak Joseph dan seorang suster jaga masuk ke dalam ruangan dengan panik. Sejujurnya, aku tidak mengerti kenapa cewek itu lepas kendali seperti itu. Memang, aku dan Andrew sempat berselisih paham, tetapi kami memastikan untuk tetap merendahkan suara supaya tidak mengganggu kenyamanan orang-orang di sini. Lagipula, percekcokan itu bahkan tidak begitu sengit, hanya sarana meluapkan emosi yang pasti akan berakhir dalam beberapa menit—paling tidak, sampai Pak Joseph masuk ke dalam ruangan atau salah satu dari kami lelah berdebat.

Aneh-aneh saja, batinku sambil menghela napas panjang.

"Malam, Pak Joseph, anak-anak," Inspektur Owen menyapa, diikuti anggukan semua orang di dalam ruangan, kecuali Alice. Melihat cewek itu masih terbaring tak berdaya sambil sesenggukan di samping suster jaga yang berusaha menenangkan dan mengelap air matanya, rasanya aku ingin marah. Namun, seperti kata Andrew, tidak masuk akal bagiku untuk marah kepadanya. Cowok itu memang serampangan, tetapi kalau menyangkut Alice, ia seharusnya sudah melakukan yang terbaik. Ini semata-mata nasib buruk bagi mereka, sebuah kebetulan yang bisa terjadi kepada siapa saja.

Atau bukan, otakku membatin. Bukannya tidak mungkin bahwa ini merupakan salah satu bagian dari rencana Topeng Putih. Aku ingat perkataan Catherine menurut kesaksian Alice, bahwa Topeng Putih berniat mencelakai orang yang penting baginya. Bagaimana kalau orang itu adalah dirinya sendiri? Atau semua dari kami, dan ia akan melakukannya satu-per-satu layaknya psikopat sinting yang suka melihat korbannya ketakutan diteror?

Namun, jika ditelaah lebih lanjut, hal itu merupakan tindakan yang gegabah, sebab situasi sedang panas-panasnya, dan aku yakin, kalau Topeng Putih sepintar yang kuprediksikan, ia tidak akan mau menuangkan minyak pada api yang membara, terlebih saat Pak Stenley sudah ditahan sesuai rencananya.

"Jadi, saya sudah kerahkan tim kepolisian untuk melacak mobil yang menabrak kalian," Inspektur Owen memulai. "Dalam semalam atau dua malam, seharusnya sudah bisa ditemukan. Sudah, yang penting kalian nggak terluka lebih parah. Kalian harus berdoa, bersyukur masih diberikan keselamatan."

"Lain kali, jangan berbuat aneh-aneh seperti itu lagi, ya, Nak," Pak Joseph mengimbuhi sambil menghela napas panjang. "Malam-malam begini, di luar bahaya. Saya paham, anak muda itu pasti ingin bersenang-senang. Saya pun waktu seumur kalian juga maunya main terus tiap malam. Tapi, keselamatan harus selalu nomor satu."

"Loh, saya udah ati-ati, Pak, sumpah!" Andrew membantah, tidak terima dikatai lalai secara tidak langsung.

"Ya, lebih hati-hati lagi ke depannya," balas Pak Joseph. "Saya nggak menyalahkan kamu, kok. Yang salah, ya, tetap yang nabrak."

"Sebenarnya, Pak," Inspektur Owen menyela. "Andrew juga belum punya SIM, ya, belum tujuh belas tahun. Jadi, mau-tidak mau, tetap harus ditindak."

Pak Joseph melirik Andrew. Yang dilirik membuang muka dengan wajah merah padam. Kalau aku tidak mengenalnya cukup baik, aku bisa saja mengira ia hampir menangis. Pak Joseph membuang napas kasar. "Baik, Pak, nanti kita pertanggungjawabkan. Saya sebagai walinya juga salah, nggak bisa mengawasi dengan benar. Maaf yang sebesar-besarnya," katanya.

"Nggak apa-apa, dipikir nanti saja," Inspektur Owen menyahut. "Yang penting pulih dulu, sehat dulu."

"Seharusnya malam ini nggak perlu opname, kok, Pak," suster jaga di sebelah Alice menimpali. "Tapi, untuk Dik Alicia, kalau mau rawat inap juga boleh, kalau perawatannya mau lebih intensif—"

[COMPLETED] Fall of the Last FortressWhere stories live. Discover now