72. Bryan

28 5 0
                                    

Dalam kondisi normal, biasanya aku adalah orang yang lurus dan bermoral. Orang-orang akan menyebutnya membosankan, sok suci, sok pahlawan, atau sebutan-sebutan lain yang kurang mengenakkan. Tetapi, aku menyebutnya cerdas dalam bertahan hidup. Kalau mau jalan kita dilancarkan di masa depan, kita harus sebisa mungkin mengikuti aturan selagi masuk akal dan menghindari masalah-masalah yang tidak perlu.

Barusan, aku menyuntik bius berdosis tinggi ke leher seorang aparat polisi di dalam sebuah gudang setelah menyekap dan mengancam beliau habis-habisan. Bagiku, itu juga hanya salah satu tindakan cerdas lainnya dalam bertahan hidup.

Iya. Pasti begitu.

“Lo gemeteran.” Joshua menegur seraya menatap ke arah kedua tanganku yang tergenggam kuat-kuat di atas pangkuan tanpa sadar. Aku mengerjap beberapa kali, dan menyadari bahwa aku, Joshua, dan Gwen tahu-tahu saja sudah berada di dalam taksi yang melaju kencang ke arah perkampungan tempat teman-teman kami dan, semoga saja, markas besar Bos, berada.

Aku berdeham dan menghela napas panjang seraya melepas genggaman sebelum tanganku mulai berdarah. “Yah…”

Tatapanku jatuh pada Joshua. Rupanya, penampilan sohibku itu lebih parah daripada yang bisa kudengar dari suaranya yang menegurku barusan. Wajahnya, yang biasanya dihias senyum sumringah atau seringai jahil, kini pucat mendekati biru. Rambut yang biasanya tertata rapi kini berminyak dan berantakan saking seringnya tangannya mengacak dan menyisirnya di luar kesadaran. Ia memang tidak gemetaran, tetapi bahunya tegang dan posisi duduknya agak terlalu tegak.

“Lo lebih parah, by the way,” ujarku blak-blakan.

“Ya gimana, bro,” balasnya. “Kalo kita nggak beruntung dan ternyata Pak Martin punya penglihatan super macem infrared goggle atau apalah tadi itu yang kita pake, yang dia inget pertama kali pasti wajah gue, anjir.”

Itu tidak salah. Di dalam tadi, karena aku adalah yang paling kuat dan berotot, ditambah aktingku tidak seberapa bagus, aku kebagian peran sebagai keroco yang menahan Pak Martin dari belakang supaya beliau tidak bergerak-gerak dan menimbulkan masalah. Dengan begitu, sangat tidak mungkin beliau bisa melihat wajahku. Di sisi lain, dengan kemampuan akting yang mumpuni, Joshua kebagian peran vokal yang mengharuskannya menggertak dan mengacungkan pistol tepat di depan wajah polisi itu.

“Nggak mungkin, lah. Santai aja,” balasku. “Bahkan di film sci-fi pun nggak ada manusia super kayak begitu.”

“Lo emang kapan nonton film sci-fi?”

Aku langsung berpaling menatap Gwen yang juga duduk di sebelahku, yang di dalam tadi kebagian peran sebagai bos mafia karena cara bicaranya terdengar paling mengancam di antara kami, sekaligus supaya ia bisa berdiri jauh dari sandera kami, berjaga-jaga kalau sandera kami lepas dan melukai orang di dekatnya. “Lo gimana? Nggak apa-apa?” tanyaku.

Gwen, yang tadinya sedang menatap ke luar jendela, memalingkan wajah sedikit ke arahku. Ekspresinya sulit dibaca, tetapi ia tampak jauh lebih tenang daripada aku dan Joshua. Ia mengangguk tipis. Gwen memang punya reputasi sebagai psikopat di angkatan kami, tetapi kalau tidak melihat reaksinya yang super tenang di situasi seperti ini, aku pasti mengira reputasi itu semata-mata gara-gara perkataannya yang cenderung tajam menusuk.

Benar-benar cewek aneh.

“Masih jauh, nggak?” tanyanya.

Aku menatap jalanan di depan sejenak. Tadinya, kami berangkat dari daerah ramai yang dipenuhi toko-toko dan kendaraan berlalu-lalang. Tetapi, kini, sejauh mata memandang, hanya ada rumah-rumah kecil dan perkebunan rindang. Lahan-lahan kosong yang dijual atau disewakan juga tampak menjamur di kanan-kiri jalan. Di sebuah plang toko kelontong sederhana yang ada di ujung perempatan kecil, tertulis ‘Jalan Pinus no. 17’. Tulisan itu membuatku otomatis menahan napas.

[COMPLETED] Fall of the Last FortressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang