60. Rosaline

28 6 0
                                    

Aku sudah lama mengagumi Joshua.

Mungkin sudah empat tahun aku diam-diam mengamatinya dari jauh, saat kami mulai sering bertemu karena anak-anak cheers sering mengikuti Bryan dan klubnya ketika latihan basket. Apalagi setelah masuk SMA, kami jadi satu kelas. Sebenarnya, menurutku, ia mirip sepertiku, seringkali tidak terlihat karena berdiri di balik bayang-bayang Bryan yang tampak bersinar terang. Padahal, jika ia berdiri sebagai individu sendiri, mungkin ia juga bakal mendapatkan fans club, apalagi sejak ia mengubah penampilannya.

Tapi aku tahu kalau selera Joshua mungkin bukan aku.

Yah, aku tidak sepenuhnya tahu juga, sih, karena aku tidak berani menyinggung soal itu selama ini. Tapi dari sikapnya yang selalu ramah dan selalu mengulurkan bantuan saat aku kesusahan, bahkan ketika kami belum saling kenal, membuatku mau tidak mau terus memikirkannya. Saat aku kehujanan empat tahun lalu, ia meminjamkan payungnya untukku meski kami belum saling kenal sama sekali. Saat anggota cheers mem-bully-ku habis-habisan, ia juga kerap memberikan obat dan salep untuk mengobati lukaku. Ia juga seorang pendengar yang baik, yang tidak pernah menghakimi apa yang kupikirkan meskipun banyak orang sering memandangku remeh. Hanya ia yang saat itu tersenyum sambil memberikan saran yang masuk akal.

Awalnya, aku hanya bisa menatapnya dari kejauhan dan menyimpan perasaanku sendiri. Aku takut kalau mengutarakan apa yang kurasakan, ia malah akan menjauh. Tapi setelah hampir mati disiksa di ruang bawah tanah, kini aku sadar, kalau aku hanya menyimpan semuanya sendiri karena takut, aku tidak akan melangkah ke mana pun. Kalau aku berhenti sebelum mencoba, hasilnya akan selalu gagal, tapi kalau aku setidaknya mencoba, masih ada peluang untuk berhasil meskipun kecil.

Seandainya ia memiliki perasaan yang sama… setidaknya aku bisa sedikit lega. Namun untuk mengetahui hal itu, sepertinya aku harus benar-benar berbicara empat mata dengannya. Mungkin, dengan begitu, masalah yang mengganjal di otakku akan sedikit berkurang. Karena belakangan ini, aku sering sekali mendapati diriku berdebat mengenai perasaan Joshua, yang anehnya tidak dapat kutebak karena ia sangat membingungkan. Rasanya, ia memang baik ke semua orang, tapi perlakuannya padaku, apakah jangan-jangan itu sesuatu yang spesial tapi ia hanya terlalu malu untuk mengungkapkannya sepertiku dulu? Aku mau tidak mau berpikir demikian, karena ia sering sekali membantu dan memujiku. Beberapa kali ia juga kerap menawarkan bantuan untuk membungkus makanan, apalagi kami sedang banyak tugas.

Pokoknya, aku butuh penjelasan tentang semua ini kalau mau mengembalikan pikiranku ke dalam kasus Topeng Putih. Apalagi… sepertinya kasus ini semakin runyam dan berbahaya bagi kami. Mungkin saja… mungkin kalau aku tidak mengatakannya segera, aku tidak punya kesempatan lagi, kan? Maksudku, siapa yang tahu kalau ternyata hari ini adalah hari terakhirku hidup di dunia mengerikan ini?

Apalagi Joshua tiba-tiba mengajakku untuk bertemu hanya berdua pagi ini, jam enam.

Melihat pesan teks itu kemarin malam, otakku langsung dipenuhi dengan berbagai pertanyaan sampai membuatku terjaga semalaman. Untuk apa ia menemuiku sepagi itu? Tidak mungkin ia ingin membahas sesuatu yang ada hubungannya dengan kasus hanya berdua denganku. Kalau ia ingin teman diskusi, pasti ia sudah menemui Bryan. Kupikir otakku tidak akan teralihkan dari bayangan Andrew yang menggunakan kostum Topeng Putih sedang mengejarku dari belakang, tapi nyatanya, isi otakku dari kemarin malam hanya tentang Joshua. 

Apakah pembicaraan berdua dengannya malam itu membuatnya sadar aku menaruh hati padanya? Tapi saat aku memberikan beberapa klu padanya, ia tampak biasa-biasa saja, sih. Kupikir satu-satunya kekurangan cowok itu adalah terlalu cuek dan tidak peka mengenai asmara. Tapi jangan-jangan… dia sadar?

“Lagian, lo kurangnya apa, sih? Gue yakin, orang yang likeable dan seru kayak lo gini pasti bisa.”

Rasa hangat mengalir naik ke wajahku. Kalimat yang ia ucapkan malam itu benar-benar tidak bisa kuhapus dari otakku. Pasalnya, baru pertama kali aku dipuji dengan tulus oleh orang lain, apalagi lawan jenis, dan pujian itu berasal dari Joshua, pula. Apalagi tiap aku mengingat senyum dan tepukan pundaknya yang penuh ketulusan itu, aliran hangat pasti kembali naik ke wajahku. Meskipun mungkin ini sudah keseratus kalinya aku memikirkan adegan tersebut.

[COMPLETED] Fall of the Last FortressOnde histórias criam vida. Descubra agora