48. Alice

26 8 0
                                    

Aku tidak tahu di titik mana aku mulai melakukan kesalahan. Mungkin sejak aku mulai menanamkan rasa suka pada Andrew, atau malah saat ia pertama kali berkenalan denganku. Seharusnya aku tidak memberikan kesempatan kepadanya untuk bisa memanfaatkanku. Aku benar-benar tidak menyangka kalau dalam hidupku, aku bakalan dimanfaatkan oleh pembunuh seperti ini.

Aku ingin menolak percaya seperti saat Catherine diduga menjadi salah satu pasukan Topeng Putih, tapi kali ini, aku tidak punya penjelasan apapun yang bisa membuktikan ia tidak bersalah. Bahkan ia juga menyebut soal 'tim' itu, dan kesetiaannya pada Bos dan lain sebagainya. Dan panggilan itu... panggilan Princess yang biasa ia ucapkan dengan penuh mesra padaku, ternyata ia juga gunakan untuk memanggil Topeng Putih lain.

Aku muak dan kesal, tapi juga sedih.

Jangan-jangan, selama ini ia selalu menempel padaku karena ingin melakukan sesuatu padaku? Aku tidak tahu apa yang bisa didapatkan dari orang sepertiku, atau dari keluargaku yang mereka habisi. Aku masih tidak habis pikir untuk apa ia melakukan ini? Tanpa tipu muslihat dan kehadirannya saja, hidupku sudah cukup hancur. Apa mereka masih tidak puas sudah membunuh seluruh keluargaku?

Apa mereka juga mau memastikan hidupku sengsara?

Aku kembali membenamkan wajahku ke dalam telapak tangan dan menangis tersedu-sedu. Joshua masih menepuk pundakku dengan lembut dan sabar sambil berusaha menenangkanku. Padahal aku sudah berjanji pada diri sendiri untuk tidak menangis di depan umum, aku sudah berjanji untuk tidak cengeng, namun memikirkan wajahnya saja sudah membuat hatiku terasa sangat sakit. Apalagi... aku kembali teringat dengan papan itu. Papan yang kulihat saat identitas Catherine terungkap di rumah tua saat itu yang berisi kelemahanku: 'mudah dibodohi' dan 'terlalu percaya pada orang lain'. Kelemahan itu sepertinya benar-benar sesuai dengan diriku. Memang aku ini orang bodoh sampai bisa ditipu dua kali oleh grup pembunuh. Oleh Catherine, dan oleh Andrew, keduanya sama-sama kujadikan orang yang paling dekat denganku tapi keduanya juga sama-sama mengkhianatiku.

Aku sangat marah, tapi juga sedih di saat yang sama. Aku tidak bisa berhenti menangis, dan itu tambah mengingatkanku pada kelemahan lain yang ada di papan terkutuk itu yaitu 'cengeng'. Padahal aku sudah berjanji untuk tidak jadi cengeng lagi. Tapi hatiku rasanya sangat sakit dan air mata ini sepertinya tidak bisa kuhentikan. Di sepanjang jalan kembali aku tidak bisa berhenti menangis sampai-sampai ibu penjaga warung memberikan kotak tisunya padaku untuk dibawa pulang. Aku memang memalukan. Dan aku membuat Joshua yang tidak terlalu dekat denganku juga malu karena harus menemaniku dalam kondisi seperti ini.

"Makasih ya Josh udah nemenin gue dengan sabar." aku menyempatkan berterima kasih di sela sesenggukanku tanpa menoleh ke arah Joshua karena malu dengan wajahku yang pasti sangat jelek sekarang.

"Nggak apa-apa, Lice. Itu gunanya temen, kan?" sahut Joshua sambil tersenyum tulus. "Lo masih satu kamar sama mereka?"

Pertanyaannya membuatku langsung mematung di tempat. Benar juga, aku masih satu kamar dengan Bryan dan Andrew. Aku tidak mungkin tidur satu kamar dengan Bryan, apalagi Andrew sekarang. Bukan cuma karena aku mau merahasiakan ini sampai aku benar-benar siap mengonfrontasi atau bahkan melepaskan Andrew, tapi aku butuh waktu sendirian sekarang. Kalau menginap di tempat anggota lain... sepertinya juga tidak bisa karena aku harus punya penjelasan yang masuk akal. Padahal, aku bukan orang yang bisa mengarang cerita dengan lihai, apalagi di depan Bryan atau Gwen. Pasti akan ketahuan.

"Kalo lo mau, lo bisa tidur di kamar gue dulu buat beberapa malem ini." kata Joshua menawarkan. Aku masih memproses kalimat tersebut saat Joshua menambahkan, "Maksudnya di kamar gue sendirian, sih. Nanti gue sama Luke yang pindah."

"T-Tapi, gue nggak enak lah sama lo, sama Luke juga. Apalagi, Luke juga masih proses rehabilitasi kayak Rosa, mungkin dia nggak nyaman kalo harus pindah-pindah? Lagipula, kalian mau pindah ke mana? Dan apa nggak malah mencurigakan?" tanyaku sambil mengelap air mata yang masih menggantung di pelupuk mataku.

[COMPLETED] Fall of the Last FortressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang