17. Gwen

22 8 0
                                    

Jikalau ada hal yang bisa mengalihkanku dari keharusan untuk memejamkan mata di malam hari, aku akan mengambilnya dengan senang hati. Berkeliling asrama, menyelinap ke gedung sekolah, membaca The Maltese Falcon untuk yang ketiga kalinya... Apa pun untuk mengusir pikiran-pikiran buruk yang tak kunjung bosan menemani, saat malam telah larut dan ketiadaan kesibukan membuat kesendirian terasa seperti misi bunuh diri bagiku.

Saat kukatakan 'apa pun', aku tidak bermaksud Jo di depan kamarku, dalam balutan baju tidur dan peluh yang mengalir turun dari rambutnya yang tidak ditata, lengkap dengan panik yang tergambar jelas dalam sorot di balik kacamata full-frame tebal yang tak lagi pernah diasosiasikan dengan dirinya sejak kelas delapan.

Tengah malam, sendirian, tergesa-gesa hingga tak sempat menghabiskan dua detik untuk memasang lensa kontak. Pasti sesuatu yang buruk. Mengingat tak lagi ada alasan bagi Catherine untuk mengancam kami berdua, dan tengah malam bukan waktu favorit para awak media untuk menayangkan berita yang tidak mendesak, taruhan terbaikku jatuh pada insiden mendadak yang menimpa seseorang. Penusukan? Penculikan? Pembunuhan?

Oh, tidak. Jangan yang terakhir.

"Kecelakaan. Alice, Andrew. Kecelakaan motor," Jo mengumumkan, mengambil napas di sela-sela tiap kata.

Begitulah cerita bagaimana kami berakhir di jok belakang sebuah blue bird, cemas dan tak mampu berkata-kata, dengan Bryan di jok depan, yang mendesah kasar setiap perhentian lampu merah, Sam, yang terus mengoceh dengan gelisah, Rosaline, yang beberapa kali meminta sang supir untuk bergegas, dan Luke, yang wajahnya membiru dan kedua tangannya terkepal.

Aku tidak suka rumah sakit, terutama di tengah larut malam. Bau karbol yang menyengat, lampu remang-remang yang membuat seisi ruangan tampak hijau oleh atmosfir suram, orang-orang yang tidur meringkuk di kursi ruang tunggu, seakan-akan siapa pun yang mereka kunjungi bisa mati kapan saja... Aku lebih benci lagi saat orang itu mungkin saja seseorang yang kukenal, seperti Alice dan Andrew.

Joseph adalah yang menyambut kami di luar ruang UGD. Ketiadaan sorot terkejut dalam tatapan lelah matanya memberitahuku bahwa ialah yang mengabarkan berita kecelakaan ini pada Bryan. Benar-benar bukan tindakan yang bijaksana, mengingat ia hampir membuat semua orang dalam blue bird yang kami tumpangi ikut diboyong ke UGD untuk alasan yang sama. Namun, lagi-lagi, pria itu sepertinya memang tidak mampu membuat keputusan tanpa melibatkan perasaan emosional, lebih-lebih memimpin sebuah panti asuhan yang bermasalah. Beberapa hari ini saja, kantung mata dan kepanikan gegabah yang hampir tercermin sebagai kegilaan dalam dirinya itu membuatku malu sendiri. Ini juga menjelaskan mengapa situasi panti asuhan kacau-balau sejak hari di mana Stenley ditahan—peraturan-peraturan yang dilanggar, kegaduhan di mana-mana, para guru yang mengundurkan diri. Kalau ini Stenley, kami tidak akan bahkan menginjakkan kaki di luar panti, semalam sebelum masuk sekolah seperti ini.

"Ditabrak mobil dari belakang; tabrak lari," jelasnya, dengan getaran yang berusaha disembunyikan dari suara paraunya. "Nggak keras, sih, untungnya. Andrew luka ringan, tapi—"

Tentu saja, Bryan, yang memiliki kapasitas kesabaran seekor beruang yang belum makan selama sebulan, langsung menerjang masuk ke dalam ruangan sebelum akhir kalimat itu bahkan sempat mencapai telinga kami.

"—Ah, iya, sebaiknya kalian lihat sendiri saja."

Ruang UGD sepi malam ini, nyaris seakan-akan semesta, dengan selera humornya yang buruk, sengaja menyediakan panggung bagi Bryan untuk berteriak, "Lice! Lo gimana? Kenapa? Sakit di mana?"

Pertanyaan-pertanyaan yang sudah terjawab sendiri begitu sosok Alice tertangkap mata, sesungguhnya. Gadis itu terbaring lemas di kasur paling ujung, dengan seluruh anggota tubuh bagian kiri terbebat perban—telapak kaki, betis, lengan... rasanya seolah-olah aku tengah menyaksikan proses pembungkusan mumi yang mangkrak di tengah jalan. Tak hanya itu, pipinya pun berhias luka parut yang cukup serius. Terpaut satu kasur darinya, Andrew duduk lemas, perban di lengan kirinya, dan plester di sana-sini tubuhnya. Lenyap sudah wajah kuat yang biasa ditampakkannya, digantikan oleh raut terkalahkan yang tak lagi pernah kulihat sejak menemukan Fellicia tergeletak di pangkal tangga sekolah hari itu.

[COMPLETED] Fall of the Last FortressWhere stories live. Discover now