64. ???

28 7 2
                                    

Udara malam yang menusuk tulang berembus perlahan, menembus sela-sela rindang pepohonan yang tumbuh mengelilingi gedung bertingkat empat itu. Di bawah siraman cahaya rembulan tengah malam, gedung itu tampak tenang dan bisu, seolah-olah seluruh penghuni di dalamnya telah tertidur lelap menanti hari esok.

Di malam yang sunyi ini, hanya gedung itu pula yang menjadi saksi pergerakan pria itu.

Berdiri di ambang gerbang yang nyaris tidak tersorot lampu jalan, sosok pria muda itu hampir menyatu dengan kegelapan. Ia menarik topi hitam yang dikenakannya, membawa bayangan semakin menutupi wajahnya yang kecokelatan terbakar terik matahari. Di tengah hawa dingin musim penghujan, tubuh tegap pria itu hanya dibalut selapis kaos tipis yang agak usang. Tetapi, hal itu tampak tidak mengganggunya.

Si pria mengamati sekitar dengan awas. Mata sipitnya yang penuh waspada memindai pepohonan, jalanan, dan setiap celah tersembunyi yang tertutup bayang-bayang. Tak lama, ia menghela napas panjang dan mulai memanjat gerbang setinggi tiga meter di hadapannya. Tubuhnya yang cukup atletis dan gerakannya yang gesit membuatnya tidak kesulitan mencapai sisi luar gerbang dalam waktu singkat.

Pria itu berderap cepat meninggalkan gedung, jejaknya nyaris tidak menimbulkan suara. Ia mengambil beberapa belokan di perumahan, melompati beberapa portal jalan dan pagar yang sudah tertutup, hingga langkahnya berhenti di sebuah gang buntu yang berbau busuk sampah. Di sana-sini aspal, kaleng-kaleng bir kosong dan bungkus makanan yang menarik kawanan lalat berserakan. Tembok bata tinggi yang menghalangi sorot lampu jalan di ketiga sisi geroak dan berlumut dimakan cuaca di berbagai bagian.

Orang biasa tidak akan pergi ke tempat seperti ini, terlebih di tengah larut malam. Bahkan, gelandangan pun barangkali tak sudi mendekat. Namun, pria itu tidak peduli. Ia melempar sekilas pandang ke sekeliling, kemudian suara beratnya terdengar membelah udara. “Gue di sini. Lo boleh keluar sekarang.”

Tak ada yang terjadi selama nyaris sepuluh detik, hampir-hampir seperti pria itu sedang berbicara dengan dirinya sendiri. Kemudian, pelan namun pasti, sebuah sosok yang tadinya melebur dengan bayang-bayang muncul dari kegelapan. Sosok itu berjalan mendekat ke arah si pria, hingga akhirnya, berkas samar sinar lampu jalan mencapai wajah pucatnya.

Seorang pria berkulit putih pucat, dengan masker hitam menutupi setengah wajahnya. Pria itu hanya sedikit lebih jangkung dibandingkan pria pertama, tetapi penampilan mereka bak langit dan bumi. Kalau pria pertama memiliki tatapan yang awas dan penuh pertimbangan, pria ini memiliki tatapan tajam di sepasang mata kucingnya yang berhias kantong mata. Ia menatap pria pertama dengan nanar, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku hoodie tebal yang dikenakannya.

“Jadi?” tanyanya. “Lo udah kasih tau lokasi markasnya ke mereka?”

Pria pertama mengangguk.

“Dan mereka percaya sama alesan lo?”

“Sesuai dugaan, nggak sepenuhnya,” jawab pria pertama. “Tapi… yang penting, mereka akhirnya nggak ngomong apa-apa. Itu aja udah cukup buat gue.”

Untuk sesaat, kedua pria itu terdiam bisu. Hawa di antara mereka berubah canggung dan berat oleh hal-hal yang tak terkatakan.

“Jadi, gimana cara gue—”

“Jadi, besok—”

Perkataan mereka terdengar bersamaan, memecah keheningan. Keduanya berhenti dan saling memandang.

“Gue dulu,” pria pertama berkata tanpa rasa sungkan. “Gue mau nanya, gimana cara gue komunikasi sama lo?”

“Maksud lo, besok?” pria kedua balas bertanya.

“Ya… sewaktu-waktu.”

Pria kedua terdiam. Alisnya bertaut, berpikir keras. “Jangan,” katanya pada akhirnya. “Jangan ada komunikasi di antara kita. Gue nggak mau nyeret lo ke dalam bahaya, dan sebaliknya, gue juga nggak boleh ketahuan. Ini yang terbaik buat rencana lo.”

Mendengar itu, pria pertama mendesah panjang. “Jadi, gue harus percaya sama lo, tanpa jaminan, bahwa besok lo akan ngelakuin bagian lo?”

Pria kedua mengepalkan tangan di samping tubuh. Ia tampak gusar dan bimbang. “Iya,” ujarnya. “Tapi… lo jangan khawatir. Kalo situasi membutuhkan, pasti kita bakal ketemu lagi.”

Pria pertama mengerutkan alis. “Apa maksudnya?” gumamnya.

“Yah…” pria kedua tersenyum nanar. “Mungkin di penjara.”

“Gue nggak akan—” Perkataan pria pertama terputus. Ia menatap pria kedua tajam, kemudian mengembuskan napas panjang. “Gue nggak akan ikut masuk penjara.” Itu jelas bukan kalimat yang sesungguhnya ingin dikatakannya. Tetapi, pada akhirnya, itu lah yang keluar dari mulutnya.

Pria kedua tertawa ironis. “Soal itu, gue juga akan ikut jamin. Tenang aja. Mungkin, lo akan ketemu gue di penjara sebagai pengunjung.”

Giliran pria pertama yang terdiam. Pikiran berat seperti membebaninya, dan tatapannya menerawang jauh ke tanah. Suasana kembali berubah hening. Kedua pria itu larut dalam pemikiran masing-masing.

Saat kesunyian mulai terasa biasa, pria kedua membuka suara. “Jadi, besok lo nggak sekolah?”

“Tetep sekolah kayak biasa, lah,” pria pertama menjawab. “Kalo ada apa-apa, gue nggak mau ambil risiko dicurigai.”

Pria kedua mengangguk. “Paling bagus begitu.” Setelah menghela napas panjang dan mengusap wajah dengan pikiran berat, ia menyambung, “Berarti… udah saatnya lo balik, daripada besok nggak bangun.”

Pria pertama tersenyum simpul. “Pertanyaannya adalah, emang malam ini gue bisa tidur? Rasanya nggak.”

Pria kedua diam sejenak. Sebuah pertanyaan tampak menghinggapi benaknya, namun tak ada sepatah kata pun keluar dari mulutnya. Akhirnya, yang ditanyakannya adalah, “Roommate lo… nggak curiga lo keluar malem-malem begini?”

“Roommate gue… udah tidur, kok. Dan kayaknya, sejauh ini, dia percaya sama gue.”

Jawaban itu membuat pria kedua kembali terdiam. “Jaga itu,” bisiknya pelan. “Jaga kepercayaan dia baik-baik.”

“Tenang aja,” pria pertama mengangguk. “Nggak akan gue sia-siain, sebisa mungkin.”

“Ya udah. Lo balik aja sekarang,” pria kedua berkata. “Udah tengah malem. Bahaya kalo sampe ketahuan.”

“Oke.”

Pria kedua menimbang-nimbang sejenak, kemudian memutuskan untuk bicara lagi sebelum pria pertama sungguh-sungguh melangkah pergi. “Thanks,” katanya. “Udah percaya sama gue.”

“Soal lokasi?”

“Nggak cuma soal itu.”

Pria kedua melempar pandangan ke langit malam dan mendesah panjang.

“Lo orang baik,” katanya. “Butuh selama ini buat gue menyadari itu.”

Mata pria pertama melebar sejenak. Tetapi, ekspresinya cepat berubah. Detik selanjutnya, binar kembali hilang dari mata itu, dan suaranya yang datar terdengar. “Gue bukan orang baik,” sangkalnya. “Gue cuma orang yang berusaha pintar.”

Pria kedua tertawa kecil. “Yah, apa pun itu…” ia menarik tudung hoodie-nya lebih rapat. “Gue yakin, rencana lo besok bakal berhasil.”

[COMPLETED] Fall of the Last FortressWhere stories live. Discover now