61. Joshua

23 6 0
                                    

Untung saja aku tidak harus mencari penyadap itu lagi. Selama menghubungi anggota lain mengenai pertemuan melalui SMS, pikiranku tidak berhenti melayang. Pagi ini bersama Rosa terasa seperti serangkaian mimpi bagiku, dan hingga matahari semakin naik lagi di langit, aku masih duduk bersila di pojok kasur, mereka ulang kejadian yang sama sekali tidak terasa nyata di taman tadi.

Aku bukannya orang nggak normal yang nggak tertarik untuk berpacaran.

Aku tahu, selama ini, aku tidak pernah menunjukkan keinginan itu secara khusus, atau secara terang-terangan mengakui pada orang lain atau bahkan diri sendiri bahwa aku menyukai seseorang. Tapi, aku juga remaja normal yang ingin merasakan indahnya berpacaran walaupun nggak menunjukkannya. Bukannya aku nggak pernah merasakan kupu-kupu di perutku, atau rasa ingin mengenal seseorang lebih jauh, atau keinginan untuk selalu berada di dekat seseorang. Tetapi, biasanya, aku cepat menepis perasaan itu dengan alasan, ‘Ah, tapi dia emang cantik, sih, jadi wajar, lah.’, ‘Ini apa bedanya dengan ngefans sama selebriti?’, atau alasan-alasan lain yang berbunyi serupa.

Saat tidak ada orang yang menyatakan cinta padamu, alasan itu cukup manjur untuk menghalau perasaan-perasaan itu dari mengemuka dan berubah menjadi sesuatu yang lebih serius. Mudah sekali menutup mata dan telinga saat kau diam-diam berpikir kau tidak cukup menarik untuk memasuki dunia semacam itu.

Baru sekarang aku tersadar, pengelakan itu berasal dari rasa tidak percaya diriku.

Saat kecil, aku memang selalu dikatai jelek, culun, cengeng, atau membosankan. Kupikir, aku sudah tidak terpengaruh lagi oleh hal-hal itu karena sadar penuh aku yang sekarang bukanlah aku yang dulu. Tapi, ternyata, setelah dipikir ulang, selama ini aku punya mindset yang sudah mengakar kuat bahwa nggak mungkin ada orang yang menganggapku menarik atau menaruh perasaan padaku, nggak peduli sedrastis apa aku berusaha berubah secara fisik dan sifat.

Terlebih, sohibku, Bryan, adalah definisi sempurna yang sesungguhnya. Mungkin, kalau kau mencari kata 'sempurna' di kamus, foto Bryan akan muncul di bawahnya sebagai deskripsi. Buat apa orang melirikku kalau ada Bryan yang jauh lebih baik tepat di sampingku? Dan memang benar adanya, sohibku itu menerima banyak pernyataan cinta, atau setidaknya tanda bahwa seseorang menaruh hati padanya, sampai-sampai aku sudah terlatih untuk menjadi lebih peka darinya dalam membaca tanda-tanda di sekitarnya itu.

Tetapi, tanda-tanda di sekitarku sendiri…

Aku jadi teringat malam itu, saat aku mengobrol berdua dengan Rosa dan ia memberikan klu tentang cowok yang ditaksirnya. Waktu itu, aku sudah sedikit merasa kalau itu mungkin diriku, entah dari caranya bicara atau ekspresi wajahnya. Tetapi, aku cepat menepis pemikiran itu saat mendengar deskripsinya mengenai cowok itu.

Ganteng, atletis, pintar… apa dia benar-benar berpikir aku semua itu?

Tiba-tiba, wajahku terasa panas lagi. Aku menutup wajah dengan kedua tangan dan berusaha mengatur napas.

Kenapa aku jahat sekali pada cewek yang sudah berpikir sebegitu tingginya tentang diriku? Tetapi, tadi, jika aku menerima perasaannya, aku bakal merasa lebih jahat lagi karena… karena…

Wajah seseorang lagi-lagi terlintas dalam benakku.

Tadi pun, saat Rosa mengungkapkan perasaannya padaku, wajah itu nggak lepas dari bayanganku. Saat Rosa meraih tanganku dan mengatakan, ‘Kalo gue sebagai pacar gimana?’, aku hanya bisa memikirkan satu hal.

Seandainya Gwen yang melakukan semua itu padaku, aku pasti bakal senang sekali…

Oke, ini bagian di mana kalian menertawakanku. Mungkin, kalau ada cara untuk menempelengku melalui layar saat ini juga sambil berkata, “Baru sadar lo, setelah sekian abad!”, akan kalian lakukan dengan senang hati.

[COMPLETED] Fall of the Last FortressWhere stories live. Discover now