26. Catherine

19 8 0
                                    

Untung saja Stalker bisa membukakan pintu tersembunyi itu tepat waktu. Kalau tidak, kami pasti sudah tertangkap. Kami berlari menyusuri ruang bawah tanah dengan cepat diiringi suara sirine mobil polisi dan percakapan mereka yang terdengar jelas di atas. Jantungku berdegup dengan cepat, napasku pun terasa sangat sesak. Bagaimana kalau kali ini kami tertangkap? Bagaimana kalau...

“Nggak apa-apa, semua bakal baik-baik aja.” kata Jenni sambil menggenggam tanganku dan membantuku berlari. “Lagipula, semua buatan Papa sempurna. Kita tinggal mengikuti lubang ini aja, sudah sampai ke escape route kedua puluh satu.”

Tidak sepertiku yang sangat gugup dalam pelarian seperti ini, Jenni malah merasa sangat bersemangat. Buktinya, saat Stalker menyuruh kami segera pergi dari tempat karena IMS sudah melacak keberadaan kami, Jenni tetap bersikeras untuk tinggal. Katanya, seru melihat ekspresi orang-orang yang frustrasi karena tidak bisa menangkap kami.

Aku mulai khawatir karena perasaan Jenni mudah berubah-ubah. Walaupun dari segi fisik, kami banyak kemiripan, sifat dan jalan pikir kami terlalu berbeda sehingga aku sering sulit mengerti dirinya. Mungkin saat ini ia tampak senang-senang saja, tapi aku yakin sesampainya di markas besar nanti, ia pasti akan menghajarku habis-habisan karena menelepon Alice diam-diam dan membuat markas favorit kami ketahuan. Tetapi sepertinya, perkataannya yang ingin mencelakai Alice dan orang-orang di sekitarnya itu serius. Meskipun Papa sudah melarangnya untuk tidak gegabah, sepertinya, ia benar-benar bertekad untuk mencelakai mereka karena aku sering mencari celah untuk kabur darinya demi menemui mereka. Padahal aku hanya kangen dengan Alice dan ingin mengucapkan ucapan ulang tahun, namun Jenni selalu over reacting. Aku selalu kesal saat mengingat apa yang dia lakukan saat hari ulang tahun Alice kemarin. Kalau saja aku tidak menghentikannya tepat waktu, mungkin Alice dan Andrew tidak akan selamat. Juga, saat ia mengarahkan pelurunya ke Andrew tadi, sepertinya ia benar-benar serius mau melenyapkan Andrew, salah satu orang yang disayangi oleh Alice.

“Di sini ada jalur!” seru suara berat dari belakangku, sepertinya polisi sudah menemukan jalur evakuasi kami.  Jantungku langsung mencelos jatuh ke perut, dan keringat dingin membasahi tengkukku. Dari suara langkahnya, setidaknya ada tiga polisi yang tengah mengejar kami melalui jalur ini.

Kami berusaha memercepat langkah dalam diam. Hanya butuh kurang dari tiga menit sampai kami berhasil mencapai ujung lorong dan keluar dari sana. Lorong itu membawa kami masuk ke dalam gang kecil di tengah kota yang tertutup gedung-gedung tinggi. Seperti biasa, kami segera menyahut ransel berisi baju ganti yang disediakan Papa dan berganti baju untuk penyamaran.

“Kita harus ke mana sekarang? Pintu dua satu lumayan jauh dari markas besar.” bisikku.

“Nggak apa-apa. Pokoknya kita pergi ke sana dulu, sisanya dipikir sambil jalan. Paling tidak, kita menjauh dari pintu ini dulu biar nggak mencurigakan. Lagipula kita udah ganti kostum dan di lingkungan ini nggak ada CCTV.” kata Stalker sambil mengenakan ransel tersebut di punggung setelah kami selesai berganti baju dan topi yang sempat terlihat polisi tadi.

Kriet…

Suara besi yang digeser membuat kami spontan langsung menoleh ke belakang. Sepertinya polisi juga sudah berhasil sampai di ujung lorong. Tidak akan sempat kalau lari sekarang, jadi aku dan Jenni memutuskan untuk melompat masuk ke dalam bak sampah raksasa di hadapan kami berdua dan berdiam di sana. Stalker sudah berlari entah ke mana, untuk mengalihkan perhatian, yang sayangnya malah sama sekali diabaikan oleh pasukan polisi itu.

“Ke mana mereka?” tanya polisi pertama.

“Mungkin sudah hilang lagi.” sahut suara familier. “Lagipula kita nggak tahu mereka lewat jalur bawah tanah itu atau nggak."

Aku mengenali suara ini. Sepertinya ia salah satu polisi bayaran Papa yang bisa membantuku keluar dari sini. Benar saja, saat aku berhasil mengintip melalui celah-celah dinding tempat sampah, aku melihat sosoknya yang familier.

“Nggak mungkin.” bantah yang lain lagi. “Jalannya cuma ada satu itu aja. Nggak mungkin mereka bisa lompat dari dinding setinggi lima meter dan luput dari pandangan tim, kan?”

“Bisa saja mereka punya alat panjat, tapi tidak ada salahnya mengecek.” sahut polisi baik, namun terpotong oleh polisi lain yang sudah membongkar tong-tong yang tergeletak di dekat jalur evakuasi. Sedangkan yang satunya lagi melaporkan tempat ini pada polisi-polisi lainnya melalui walkie-talkie.

Gawat, seandainya mereka benar-benar mengirimkan tim untuk menyisir tempat ini kami pasti bakal ketahuan. Selain itu, polisi yang satu juga mulai membongkar barang-barang di dekat sini. Aku melirik Jenni, barangkali ia punya ide untuk melarikan diri dari sini sebelum tim polisi datang, tapi ia hanya menggigit bibir bawahnya dengan kesal. Apakah mungkin karena kecerobohanku… kita berdua akan tertangkap polisi?

Padahal aku hanya ingin mengucapkan selamat ulang tahun ke Alice.

Aku nggak bermaksud melaporkan kami semua, apalagi menjebloskan Papa ke penjara. Aku cuma ingin menelepon Alice, satu-satunya sahabatku di panti asuhan itu, cuma itu. Tapi keadaan malah jadi berubah runyam seperti ini. Membayangkan Papa ditangkap polisi dan gagal mencapai keinginannya membuat hatiku terasa sangat sakit. Air mata turun dari pipiku, membuatku tidak sadar membuat sebuah suara isakan yang pelan. Jenni buru-buru membungkam mulutku, namun polisi pertama sudah mendengarnya.

“Kayaknya ada suara tangisan nggak sih, barusan?” kata polisi pertama, menghentikan acara mengobrak-abrik barangnya.

Jenni buru-buru membenamkan wajah kami ke dalam tumpukan sampah—berjaga-jaga kalau sampai polisi membuka bak ini. Tapi sepertinya, membenamkan diri di tumpukan sampah tidak akan bisa menutupi tubuh kami berdua. Seandainya tutup bak ini dibuka, kami pasti ketahuan juga.

“Pokoknya, kalau sampai ketahuan, kita harus bungkam.” bisik Jenni padaku. “Jangan sampai Papa ketahuan, seenggaknya Papa masih bisa nolongin kita dari luar.”

“Uhuk, uhuk! Srot.” suara lain menyahut dari luar. “Ah, maaf, sepertinya itu suara saya. Saya alergi sama debu, gara-gara Bapak bongkar-bongkar tadi, debunya masuk ke hidung saya. Srot.” Polisi baik berusaha menyelamatkan kami berdua. “Astaga, banyak sekali debunya. Tim bakal ke sini dalam dua menit, kan? Gimana kalo kita balik dulu aja?”

“Kalau balik, siapa yang bakal berjaga di sini?” bantah polisi pertama, membuat Jenni merasa sangat geram. “Seandainya pelaku masih ada di sekitar sini, dan kita yang berhasil nangkep, bisa naik pangkat, lumayan.”

“Dua menit juga bakal menemukan apa di tempat berdebu kayak gini. Lagipula, bisa jadi mereka malah nggak ke sini. Apa Bapak yakin kalau dinding di sana semuanya setinggi lima meter? Bisa jadi ada celah lain, kan? Toh, itu bangunan lama. Anda menyuruh pasukan ke sini, dan ternyata mereka ditemukan di dekat perumahan sana, bukannya malah bakal memerjelek nama sendiri?”

Kalimat barusan sepertinya berhasil membujuk kedua polisi tersebut karena suasana menjadi hening setelahnya.

“Lagipula, kalau saya jadi mereka sih saya bakal lari lewat jalur perumahan sepi daripada jalanan ramai seperti ini. Apalagi sesuai deskripsi anak-anak tadi, mereka menggunakan pakaian yang sangat mencolok. Di sekitar sini kan banyak CCTV, pasti akan mudah untuk terekam.” jelas polisi suruhan Papa. “Mungkin jalur bawah tanah ini buatan mendiang Walker untuk kabur dari istrinya untuk berselingkuh, atau kabur dari selingkuhannya yang lain yang minta pertanggungjawaban. Lagipula, keluarga mereka kan memang agak aneh.” candanya sambil cekikikan.

“Atau kalau tidak... kita berjaga di perumahan saja selagi tim kemari.” usul polisi kedua, akhirnya berhasil terbujuk.

“Saya rasa… sebaiknya begitu.” sahut polisi pertama akhirnya setuju.

Tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk kembali menutup besi di belakang mereka dan kembali menyusuri jalur ruang bawah tanah, memberikan Jenni dan aku waktu untuk keluar dari bak sampah. Untung saja polisi itu berhasil meyakinkan dua polisi lainnya. Setelah ini aku pasti bakal bilang ke Papa untuk menaikkan upahnya.

“Ayo, cepetan. Dua menit, walaupun lebih dari cukup buat kita masuk ke jalur lari lain, tetep aja bahaya. Nanti aja mikirnya.” kata Jenni sambil menarikku berlari menuju jalur evakuasi kami yang lain.

[COMPLETED] Fall of the Last FortressOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz