73. Gwen

28 5 0
                                    

Dewi Fortuna nampaknya tidak berpihak padaku hari ini. Tadinya, aku cukup yakin bisa menghindari percakapan dengan Jo, kontak mata, dan interaksi dalam bentuk apa pun setelah kejadian kemarin malam yang masih terputar jelas di dalam otakku, seperti loop yang tidak ada habisnya di tengah kemelut pikiran-pikiran lain yang campur aduk—bahkan di tengah kepanikan dan ketakutan selama penyekapan tadi, yang terbawa hingga kami tiba di tempat terpencil ini.

Tentu saja, aku salah.

Jika saja pada waktu itu aku membuat usaha yang lebih meyakinkan untuk ditempatkan di tim sebelah dan menyamar menjadi mahasiswi, tukang bakso, atau apa pun itu, situasi ini tidak akan terjadi, dan mungkin alih-alih ditinggalkan berdua dengan Jo seperti ini, aku sedang berjalan-jalan di dalam markas Panji, kemudian seseorang akan muncul dari belakang dan mengantam kepalaku hingga pingsan, lalu…

Apa-apaan. Apa aku sedang menakut-nakuti diri sendiri?

Kutekan kembali tombol dial di ponselku. Satu, dua, tiga kali… Pak Doni masih tidak bisa dihubungi. Rasanya jahat karena aku sedikit lega. Artinya, aku bisa berpura-pura sibuk dengan ponselku lebih lama. Aku beralih menghubungi Pak Owen, yang tadinya bertugas membereskan kekacauan yang kami buat di gudang, di mana Pak Martin masih tersekap.

Tersambung.

“Gwen?”

Berani taruhan, aku bukan orang pertama yang ia harapkan menelepon.

“Halo.” Aku membuat kesalahan dengan melirik Jo. Selama sepersekian detik, tatapan mata kami bertemu. Tanpa berpikir panjang, tatapanku kubuang ke langit, seakan-akan seekor burung elang yang besar tiba-tiba terbang tepat di atas kepala untuk mematuk mataku. “Di sana aman?”

“Aman.” Nada terkejut dalam suara Pak Owen berangsur hilang. “Sekarang, Pak M dijaga dua orang. Kira-kira biusnya akan bertahan dua sampai tiga jam lagi. Saya sudah instruksikan supaya selama itu, beliau dipindahkan ke tempat yang lebih aman. Saya sendiri sudah di posisi. Baru saja sampai.”

Posisi yang dimaksud adalah sebuah bukit yang terletak tak jauh dari sini. Tentu, aku tak pernah bahkan melihat wujud bukit itu dari jarak dekat. Namun, tim polisi yakin berjaga di atas sana memberi titik pandang paling ideal untuk mengawasi pergerakan tim yang lain di perkampungan. Agak seram rasanya, menyadari bahwa setiap gerak-gerik kami bisa dipantau melalui teropong. Kalau salah satu dari mereka berkhianat, kami semua tamat.

Tetapi, seperti yang sudah pernah kukatakan, aku tidak peduli. Kalau aku mati hari ini, setidaknya aku akan merasa puas mengetahui bahwa aku sudah mengusahakan yang terbaik untuk Stenley. Paling tidak, aku juga sudah menghalangi jalan orang yang memporakporandakan hidupku di usia sepuluh tahun beserta komplotannya. Itu sudah lebih dari cukup.

Sebenarnya, tidak, sih. Itu tidak cukup. Rencana ini harus berhasil. Stenley harus selamat. Kalau tidak, selamanya aku akan menjadi seseorang yang berutang budi, berutang nyawa.

“Kita butuh pengawasan polisi di sekitar sini,” ujarku. “Jalan Cendana 15. Bryan baru aja masuk, dan belum ada kabar. Saya mau masuk pun nggak bisa karena tim yang patroli nggak bisa dihubungi buat menggantikan tugas pengawasan di luar sini.”

“Dari pantauan saya, sepertinya lokasi mereka agak jauh dari sana,” Pak Owen berkata.

Aku bergidik sedikit. Seram.

“Kalian tetap di tempat saja sampai saya hubungi lagi. Jangan masuk. Nanti kalian semua hilang sinyal, saya yang repot. Sepertinya tim patroli sedang berusaha mencari informasi soal kendaraan yang keluar dari tempat ini dalam satu jam terakhir. Mereka terpencar, jadi agak susah mengumpulkannya. Yang sudah terlanjur masuk, ya sudah. Tapi setidaknya, kalian yang di luar tunggu konfirmasi dulu sebelum ikut masuk.”

[COMPLETED] Fall of the Last FortressWhere stories live. Discover now