40. Gwen

24 11 0
                                    

Seharusnya, aku tidak bermain api.

Aku mengira, dengan mengatakan hal-hal yang membuat bulu kuduk berdiri, Jo akan kagok dan berhenti bermain-main denganku seperti di hadapan Luke kala itu. Namun, aku sungguh telah meremehkan dirinya. Jangankan berhenti, ragu pun tidak—pria itu malah semakin menjadi-jadi. Setiap rayuan, setiap sandiwara... Ia langsung membaca permainanku dan memenangkannya.

Sial. Mungkin, ia sudah berpengalaman dengan banyak wanita atau apa. Yang jelas, malam ini, aku kalah telak. Terbukti, saat ini, aku masih bisa merasakan sensasi lengannya di sekeliling pundakku, belaian jemarinya di puncak kepalaku, dan suaranya... Ya Tuhan, suaranya. Sejak kapan suara itu berubah begitu berat dan... Tunggu. Apakah aku hendak mengatakan 'seksi'? Aku pasti sudah berubah sinting. Atau mesum. Atau keduanya.

"Gimana, sih! Kok bisa ceroboh gitu!" Bentakan Jo pada waiter berseragam ala koboi itu terdengar nyaring, memecah ketenangan yang beberapa saat lalu masih meliputi Bar Kusuka. Saat ini, seisi ruangan sudah disulap menjadi panggung pertunjukan. Semua mata memandang ke arah kami, atau mungkin hanya ke arah Jo. Aku tidak pernah melihat Jo semarah ini, tetapi, ia memang tidak pernah semarah ini. Ini bukan dirinya. Semua ini adalah bagian dari sandiwara kami, dan kebetulan, bagi orang yang tidak mengenalnya, akting Jo memang tampak luar biasa meyakinkan.

"Maaf, Kak. Maaf sekali lagi," sang waiter membungkuk berkali-kali. "Saya akan berikan yang baru, gratis. Uang yang tadi dibayarkan juga di-refund saja. Maaf, Kak."

"Beri yang baru? Refund uang?" Jo mengulang dengan nada tinggi. "Cewek gue udah minum hampir setengah mocktail yang isinya rambut lo! Lo nggak tahu, ya, seberapa joroknya rambut, mau lo keramas tiap hari sekali pun? Belum lagi, lo pake gel, yang jelas-jelas beracun. Gimana kalo cewek gue keracunan? Lo kira kesehatan bisa dituker sama duit?"

Di saat-saat seperti ini, aku semestinya nimbrung. Namun, daripada merusak panggung yang sudah sempurna ini, lebih baik aku diam saja, seperti wanita lemah yang hanya bisa berlindung di balik tameng orang lain. Setidaknya, sampai pembukaan ini berlalu, dan kami sampai pada pertunjukan yang sesungguhnya.

"Gue nggak nyangka, bar yang terkenal mutunya kayak begini ternyata bobrok," Jo masih melanjutkan dialog impromptu-nya. "Panggil manager lo—ah, nggak, panggil yang punya tempat ini sekalian. Gue mau bikin perhitungan sama dia. Gue nggak peduli dia ada di mana. Mau di rumah, kek, di luar negeri, kek, gue tungguin."

"Tapi, Kak—"

"Atau lo mau gue viral-in kejadian ini? Ya terserah, sih. Keputusan ada di tangan lo—"

"Nggak, nggak, nggak, Kak. Baik, Kak. Saya panggilkan Bos sekarang. K-kakak tunggu di sini sebentar, ya." Dengan raut kengerian tergambar jelas di wajahnya, sang waiter berlari pergi, tergesa-gesa dan gemetaran. Namun, perhatian pengunjung lain masih belum teralih, bahkan ketika aku dan Jo sudah kembali duduk di atas sofa kulit hitam yang menjadi saksi rencana busuk kami sedari tadi.

"Kamu nggak apa-apa? Nggak sakit, kan?" Pertanyaan lembut itu diluncurkan Jo dengan raut wajah yang, bagi orang lain, barangkali tampak khawatir. Namun, aku hanya bisa melihat kilat jahil di matanya, yang membuat darahku mendidih.

Mungkin, aku seharusnya menyerah saja dengan permainan ini. Tetapi, tubuhku enggan berkooperasi. "Agak mules rasanya sekarang..." Suaraku terdengar luar biasa kaku, membuatku ingin muntah. Saat ini, menatap Jo saja, aku tidak berani, lantaran wajahku sudah berubah merah padam. Sebenarnya aku ini kenapa? Ah, memalukan, Gwen.

"Duh, kurang ajar, memang, orang itu. Nggak apa-apa, ada aku." Aku hampir terkesiap saat Jo, tanpa tedeng aling-aling, menarik dan memeluk tubuhku, yang malam ini rasanya seperti telanjang saking terbukanya pakaian yang kukenakan. Insting pertamaku adalah melepaskan diri. Namun, entah setan apa yang merasukiku hari ini, tubuhku masih menolak berkooperasi.

[COMPLETED] Fall of the Last FortressWhere stories live. Discover now