81. Alice

26 5 0
                                    

Akhirnya kami pun berpencar.

Aku berjalan beriringan dengan Gwen menyusuri ruang demi ruang di hadapan kami yang berisi barang-barang bekas. Mereka bahkan menyimpan gitar yang sudah rusak, payung jebol, dan rongsokan-rongsokan lain di bawah sini. Mungkin mereka tidak punya waktu untuk membersihkan markas sebesar ini dalam kondisi masih memantau sidang Pak Stenley dari CCTV. Sepertinya kami tidak akan menemukan apapun di sisi ini, tapi sepertinya Gwen masih ingin berjalan menuju markas yang lebih dalam.

Aku mengikutinya dalam diam, sambil sesekali menengok ke belakang untuk berjaga-jaga.

Kami pun tiba di sebuah perempatan, dengan jalan lurus dan ke kiri yang dipenuhi pintu di sisi kiri kanannya, dan belokan ke kanan dengan satu pintu. Aku otomatis berbelok ke kanan. Aku memutuskan untuk membuka pintu di kananku dan mendapati ruangan yang berisi senjata yang sudah rusak. Ada panah kayu, tempat senapan, jubah dan topeng putih yang sudah koyak.

"Gwen, banyak bekas senjata di sini. Ini bisa jadi barang bukti?" tanyaku setengah berbisik sambil menoleh ke belakang.

Tidak ada jawaban. Aku menengok ke luar untuk melihat apa yang sedang dilakukan oleh Gwen, dan tidak menemukannya di mana-mana. Dengan sedikit panik, aku berlari menyeberangi perempatan untuk mencari Gwen. Untungnya, aku mendapatinya sedang berada di ruangan pertama, yang berisi penuh bahan-bahan makanan, seperti sembako yang menunggu untuk dibagi-bagikan. Ada tepung, beras, minyak goreng, dan masih banyak lagi, dalam kardus-kardus yang ditata rapi. Gwen sedang berdiri sambil membawa tas ranselnya di perut, sepertinya ia baru saja menutup ritsleting tas itu.

"Wow," komentarku. "Mereka sampe punya stok kayak gini. Menurut lo, keroco-keroco itu tinggal di sini?"

Gwen mengangguk. "Mereka pasti tinggal di sini, walaupun gue nggak nyangka mereka sampe buka warung kayak gini, sih. Kayaknya, Panji mau meminimalisir frekuensi mereka keluar-keluar dari sini dan ketemu orang lain. Lo lihat sendiri, mereka gampang dibodohi. Terlalu riskan kalo mereka dibiarin sering keluar, bisa-bisa rencananya dibocorin ke sembarang orang," jawabnya.

Aku manggut-manggut. "Iya sih, masuk akal," jawabku. Aku menatap Gwen saat ia menggendong kembali tas ranselnya yang kelihatannya berat. "By the way, lo ngambil sesuatu dari sini?"

"Nggak," kata Gwen. "Cuma ngeluarin HP buat foto tadi. Baju gue nggak ada kantongnya, jadi gue simpen HP di ransel." Entah kenapa, aku merasa Gwen berbohong. Apalagi, ranselnya kelihatan bertambah berat dari sebelum ia masuk ke sini. Tapi, belum sempat aku bertanya, Gwen sudah bertanya duluan. "Eh, tadi lo mau nunjukin apa? Yuk, waktunya nggak banyak."

"Oh, itu. Bentar." Aku mengajak Gwen kembali ke ruang senjata yang kutemukan. "Senjata-senjata ini bisa dipake buat bukti, nggak, ya?"

Gwen mengamati senjata-senjata yang kumaksud, lalu berkata, "Nggak bisa. Walaupun mereka punya panah rusak dan segala macemnya di basemen, mereka masih bisa ngelak dengan bilang itu cuma koleksi. Kecuali ada DNA di senjata atau jubahnya, sih, tapi dilihat dari pasukan yang nyekap kita selalu pakai sarung tangan, dan gimana hati-hatinya Panji selama ini, kemungkinannya kecil. Kalau bisa dicek pun, mungkin cuma dapet DNA bawahannya aja, tapi nggak apa-apa, lumayan buat njeblosin keroco-keroco itu ke penjara."

Aku mengangguk lalu berjalan masuk. Baru saja aku hendak mengambil salah satu sebagai barang bukti, Gwen langsung mencekal tanganku sambil berkata, "Jangan dipegang, lo bisa ngerusak crime scene dengan nyampurin sidik jari lo di sana."

Aku baru tahu soal itu.

"Eh, sori, gue nggak tahu." kataku sambil mundur perlahan. "Lo jago, ya, bisa paham soal begituan sampe detail."

"Nggak juga, sih. Gue cuma sering baca novel detektif aja, jadi kurang lebihnya mungkin gue tahu, tapi kenyataannya gue belum sampe tahap sejago itu." katanya sambil menutup pintu ruang senjata.

[COMPLETED] Fall of the Last FortressWhere stories live. Discover now