9. Rosaline

32 9 0
                                    

Setelah kembali dari ruang makan, aku langsung masuk lagi ke dalam kamar.

Mimpi buruk dan bayang-bayang Topeng Putih di koridor masih terus kulihat beberapa kali, namun aku berusaha menyembunyikannya. Aku tidak ingin menghabiskan satu hari pun di ruang rehabilitasi bersama dengan anak-anak lain yang jadi gila karena penyekapan itu. Rasanya menyedihkan.

Maka dari itu, sekarang aku punya taktik.

Aku selalu membawa cermin. Ketika ada sesuatu yang membayangiku, aku menggunakan cermin untuk membedakan mana yang nyata dan tidak. Jika Topeng Putih tidak tampak di dalam cermin, berarti ia tidak nyata. Untungnya, cara ini lumayan efektif hingga sekarang. Setidaknya, itu bisa mengurangi rasa takutku di dunia nyata. Tapi, soal mimpi buruk yang terus membuatku terjaga hingga tidak bisa tidur, aku belum tahu solusinya. Rasanya setiap kali aku memejamkan mata, ada sosok pembunuh yang sedang mengacungkan pisaunya di depan wajahku-bersiap mengakhiri hidupku. Atau tiba-tiba saja aku kembali ke dalam gua yang bising dan penuh bau-bau tajam tempatku disekap.

Aku harus segera sembuh, entah bagaimana caranya.

Aku menghela napas panjang sambil meraih salep dari rumah sakit. Mereka memberiku salep untuk mengobati memar yang ada di sekujur tubuhku. Sebenarnya, kalau kalian bertanya padaku apakah rasanya sakit, luka di tubuhku malah tidak terlalu sakit dibanding perasaan selalu diikuti yang kualami belakangan ini. Toh, aku sudah pernah menjadi korban bullying dan mendapat luka memar di sekujur tubuh seperti sekarang.

Tok... tok... tok...

Ketukan di pintu membuatku terkejut. Satu-satunya orang yang mungkin mengunjungiku hanyalah Alice dan Joshua. Tapi, aku baru saja berpamitan dengan Alice, dan rasanya Joshua tidak mungkin mengunjungiku malam-malam seperti ini. Mau tidak mau jantungku berdebar dengan cepat. Siapapun yang ada di balik pintu itu bisa jadi adalah antek Topeng Putih.

Dengan was-was, kubuka pintu di hadapanku dan mendapati sosok paling tidak terduga berdiri di depan kamar dengan tampang bersalah. Itu Kesha, dengan ekspresi wajah yang kupikir sudah hilang dari sistem tubuhnya. Rasa bersalah dan khawatir terpancar dari raut wajahnya-terakhir kali aku melihat ekspresi itu adalah delapan tahun lalu, saat aku kembali ke panti asuhan lagi karena orang tua angkatku sudah memiliki anak sendiri dan merasa tidak kuat untuk membiayai dua anak di keluarganya.

Yah, begitulah. Selama hidup, memang aku sering diperlakukan seenaknya.

"Lo baik-baik aja?" tanyanya, lalu langsung mengalihkan pandangan menuju lantai.

"Yah, memar-memar dan serangan psikis." sahutku. "Tapi udah biasa, lah. Gue kan udah di-bully sejak lo masuk geng cheerleaders dan-"

"Gue minta maaf." potongnya buru-buru. "Gue tahu, selama ini, gue udah merlakuin lo kayak sampah, dan nggak pantes dapat maaf dari lo. Gue juga... sebenernya selama ini udah merasa bersalah, tapi karena kebiasaan, gue jadi tetep kasar sama lo. Apalagi, kalo di depan anak-anak cheers, gue bisa didepak seandainya nggak berlaku sesuai sama mau mereka."

Aku hanya menghela napas panjang ketika mendengar penjelasannya.

"Lo tahu sendiri, kan, kalo gue nggak punya sesuatu yang bisa diakuin di geng itu, dan mereka nggak butuh gue? Beda sama Andrea yang emang cantik banget, kalo gue yang berlaku beda dikit aja, pasti gue udah didepak dari perkumpulan itu. Padahal, gue butuh ada di sana. Gue nggak mau berada di posisi tertindas, nggak dikenal orang dan diperlakuin seenaknya-"

"Ya bukan berarti lo bebas merlakuin orang lain seenak jidat kayak gini, kan?" potongku.

"Gue paham. Makanya, gue mau minta maaf ke sini. Gue sadar, waktu Alexa yang nyamar jadi Andrea ngomong kalo dia nggak nyaman lo ngejar-ngejar dia, dan nyuruh gue bantu ngusir lo dari kamarnya waktu itu..."

[COMPLETED] Fall of the Last FortressWhere stories live. Discover now