6. Gwen

33 7 0
                                    

Wajah Jo yang diterpa sinar rembulan beralih pucat perlahan-lahan saat kalimat itu meluncur keluar dari mulutku.

Lompat, kataku.

Ekspresi yang kuterima sebagai balasannya membuat senyum itu tak lagi mampu kutahan. “Bercanda,” aku mengangkat bahu. Kupikir melakukan hal ini terhadapnya akan lucu, tetapi aku tidak menyangka reaksinya benar-benar keluar langsung dari memori masa kecilku. Jo, empat tahun, dengan poni mangkok yang kepanjangan dan badan yang terlampau kecil untuk anak seusianya—saat itu pun, reaksinya saat kukatakan bahwa aku bisa membaca pikiran dengan indera keenam juga sama persis.

“Nggak lucu, Gwen.”

“I’m not entirely joking,” ujarku. “Coba lihat ke bawah.”

Tak pernah dalam mimpi pun aku menduga akan menunjukkan hal ini kepada orang lain, tetapi di sini lah Jo, menatap ke arah tali tambang yang menjuntai turun dari jendela kamarku di lantai empat seperti habis melihat hantu. Tali itu, boleh dikatakan, adalah pegangan hidupku selama beberapa tahun terakhir. Di malam hari, saat kurasa hawa di kamar terlalu berat atau pikiran-pikiran buruk terlampau membebaniku, aku akan melarikan diri, hanya berjalan tanpa arah di sekitar bangunan asrama. Entah apa yang ingin kubuktikan dan pada siapa, tetapi hal itu selalu membuatku merasa sedikit lebih kuat.

“Jadi, tertarik buat turun?” tanyaku.

“Ini lantai empat.”

“So?”

“Terjun bebas dari lantai empat? Doesn’t sound like fun to me.” Lagi-lagi, ekspresi seperti habis melihat hantu itu. Jo takut pada banyak hal, tetapi akhir-akhir ini tidak menunjukkannya. Melihatnya seperti ini anehnya membuatku merasa tenang, seakan mendapat keyakinan semu bahwa segalanya akan baik-baik saja, seperti saat itu.

Aku menggunakan bingkai jendela sebagai tumpuan, melompat dan duduk di atasnya hingga kedua kakiku menggantung bebas di udara. “Kenapa?” tanyaku, “Aku suka jatuh bebas—rasanya kayak tenggelam, tapi waktu berjalan cepat dan aku bisa bernapas karena nggak ada air yang menyumbat paru-paru. It feels freeing.”

Jo menjatuhkan tubuh di sampingku, walaupun ia duduk menghadap ke dalam dan kedua kakinya menapak aman di lantai kamar. “Masuk akal. You must really hate drowning.”

Aku mengangguk. “Dua kali,” ujarku, “Hampir mati tenggelam di usia tiga tahun, terus di usia sepuluh tahun. Rasanya kayak dunia mau ngasih tahu gimana aku ditakdirkan mati besok.”

“Kayak tester kematian gitu, ya?”

Seulas senyum simpul terbentuk di bibirku. Kematian, tenggelam, takdir… Mengagumkan bahwa aku bisa membicarakan hal-hal seperti ini dengan ringan saat ini. Biasanya, pikiran-pikiran itu akan merayap naik dengan cepat, memenuhi dadaku dan, pada akhirnya, kepalaku—sampai-sampai aku butuh pelarian diri lagi. Apakah ini karena aku sudah memeroleh penyelesaian? Apakah ini karena aku sudah mengingat pemilik tatapan dingin yang selalu menghantui malam-malamku, yang selama bertahun-tahun kucari tanpa jawaban?

“Boleh aku tanya satu hal?” Jo bertanya retorik, “Kenapa kamu menjauh, terus tiba-tiba mau temenan lagi? Sampai ngasih tahu hal kayak gini, apa yang bikin kamu percaya sama aku?”

“Itu tiga pertanyaan,” komentarku, “Tapi, akan kujawab karena aku lagi baik.”

Kuarahkan pandang pada langit yang bersih tanpa awan selagi pikiranku berputar, mencari titik di mana aku harus memulai. “I have PTSD.” Pada akhirnya, itulah yang keluar dari mulutku. “Post-traumatic Stress Disorder. Nggak mengejutkan, lah, ya. Aku udah ceritain semuanya, kan?—Tentang nggak ingat apa pun dari kejadian itu, pusing, dan lain sebagainya. Tapi, berdasarkan sesi terapi sama psikiaterku, kemungkinan besar nggak hanya tenggelam penyebabnya, tapi juga sesuatu yang kualami persis sebelum itu.”

[COMPLETED] Fall of the Last FortressWhere stories live. Discover now