24. Bryan

20 10 0
                                    

“BAJINGAN!” Teriakan murka Andrew menggema di seluruh penjuru ruangan saat cowok berambut merah itu dengan cepat melesat keluar, meninggalkan kami semua yang masih terhenyak di tempat, berusaha memproses apa yang baru saja terjadi beberapa detik terakhir. Teriakan itu membuatku ikut kembali pada kesadaran dalam sekejap.

Topeng Putih masih ada di bangunan ini.

Aku harus menangkapnya, apa pun yang terjadi.

Sebelum sempat aku bereaksi, Joshua sudah menerjang keluar terlebih dahulu dengan kecepatan penuh, diikuti oleh Sam dan Rosaline. Aku bersiap tancap gas, berniat mendahului mereka. Namun, aku menangkap sosok Alice dari ekor mata, sedang berusaha berlari dengan tenaga yang masih lemah dan sekujur tubuh yang masih penuh perban. Baru saja aku mendekat untuk menawarkan bantuan, cewek itu sudah tersandung oleh kain yang baru saja disingkap Sam dan jatuh terjerembap ke depan.

“Aduh!” pekiknya, membuatku buru-buru menghambur ke arahnya untuk menolong. “Ngapain, Bry!” teriaknya. “Cepetan, lari! Ikut kejar mereka, keburu Topeng Putih hilang!”

“Nggak!” balasku. “Gue nggak niggalin lo sendirian di sini!”

“Nggak sendirian, kok. Kan ada Gwe—” Perkataan Alice terhenti saat ia menyadari bahwa ruangan tinggal berisi kami berdua, begitu juga denganku. Entah sejak kapan Gwen sudah menghilang. Padahal, aku berani bersumpah, beberapa detik yang lalu, ia masih berdiri diam di sudut dekat papan mengerikan yang dipenuhi foto dan deskripsi masing-masing dari kami.

Aku mengeraskan rahang, lalu berjongkok di hadapan Alice secepat kilat. “Naik. Gue gendong,” perintahku tegas.

“Hah?” Alice langsung protes. “Udah, nggak usah. Nanti malah lo jadi lambat—”

“Ayo, naik!” selaku buru-buru. “Gue nggak mau ninggalin lo di tempat begini.”

“Tapi—”

“Ayo, Lice,” desakku. “Keburu Topeng Putih kabur, loh.”

Mendengar kalimat terakhirku, Alice akhirnya menyerah. Ia mengalungkan tangan ke leherku, dan aku pun mengangkat tubuhnya dengan ekstra hati-hati. Setelah memastikan bahwa gendonganku sudah kukuh, aku berseru, “Pegangan yang kuat,” dan melesat keluar secepat mungkin, mengejar yang lain.

Sesuai dugaanku, koridor sudah kosong melompong. Itu tidak membuatku putus asa. Aku berbelok ke arah kanan sambil menajamkan telinga. Ada dua hal yang kusyukuri selama berlari: 1) Tubuh Alice ringan sekali, sampai-sampai kecepatan lariku hampir tidak terpengaruh, dan 2) Bahan bakar Andrew dalam berlari berupa teriakan-teriakan umpatan, yang pantulan samarnya ke seluruh penjuru koridor membuatku mampu menentukan arah lari dengan mudah.

“Bry, ke kiri!” Alice mengarahkan, saat teriakan Andrew yang berbunyi, ‘Sini lo, bangsat!’ terdengar lagi dari cabang kiri tikungan. Aku mengikuti sumber suara dan berakhir menghadap tangga turun yang sangat curam. Saking terkejutnya, aku mengerem lariku secara mendadak, membuat pegangan Alice kendor seketika.

Alice memekik dan nyaris terjatuh, tetapi aku sigap menahan kakinya, sehingga ia berhasil mengalungkan tangan kembali tanpa masalah. Namun, karena sempat berpindah posisi, gendonganku jadi terasa tidak pas, dan aku yakin Alice tidak akan merasa nyaman saat aku kembali berlari. “Turun dulu, deh, benerin posisinya,” putusku sambil menurunkan Alice perlahan-lahan.

Saat menoleh sekilas sembari melangkah turun satu anak tangga, mataku menangkap sesuatu di balik tubuh Alice, dan jantungku langsung berhenti berdetak.

Dua meter di belakang cewek itu, sebuah sosok berjubah hitam dan bertopeng putih sedang berdiri tegak, mengacungkan pistol tepat ke arah punggungnya.

[COMPLETED] Fall of the Last FortressWhere stories live. Discover now