71. Rosaline

33 7 0
                                    

Aku takut setengah mati. Rasanya keringat dingin sudah membasahi seluruh tubuhku sejak kami turun melalui tangga rubanah. Suasana di sini mengingatkanku pada suasana ruang penyiksaan di panti asuhan tempatku disekap. Pengap, gelap, dan mengerikan. Sejak berada di dasar rubanah, aku terus-terusan berbalik untuk sekadar memastikan bahwa suara-suara langkah kaki yang mengikuti di belakang kami hanyalah ilusi belaka. Mungkin aku terdengar seperti orang bodoh, tapi aku juga beberapa kali mengeluarkan cermin di sakuku untuk mengecek apakah beberapa barang aneh yang kulihat nyata atau hanya ilusi. Padahal, sudah beberapa hari ini aku jarang memakai cermin memalukan itu.

Aku hampir gila dengan bayang-bayang yang terus terlihat di sudut mataku—bayangan Topeng Putih yang sedang bersembunyi di balik kegelapan. Tapi aku memutuskan untuk tetap melangkah menemani Alice dan Sam yang sedang mencari petunjuk. Aku sudah berjanji pada diri sendiri untuk menjadi lebih berani. Setidaknya tanpa anggota lain di sini aku perlu bertanggung jawab untuk melindungi mereka berdua.

"Kayaknya nggak ada apa-apa, deh." kata Sam sambil menghela napas.

Tidak. Entah kenapa aku cukup yakin kami berada di tempat yang benar. Suasana semengerikan ini, dan tempat segelap ini, hanya pasukan Topeng Putih yang merasa nyaman berada di dalamnya. Tapi aku butuh alasan lain yang lebih masuk akal untuk meyakinkan mereka.

"Mungkin saja beberapa ruangan yang di depan cuma buat penyamaran?" kataku.

"Iya, mungkin pintu yang kita cari ada di ujung?" sahut Alice sambil menunjuk pintu paling ujung.

Akhirnya mereka pun masuk ke dalam pintu ruangan terakhir, meninggalkanku sendirian dengan senter di tangan sebagai pencahayaan. Awalnya tidak ada sesuatu yang mencurigakan, namun tiba-tiba aku mendengar derap langkah kaki yang memecah kesunyian.

Tap... tap... tap...

Suara langkah ringan namun mantap terdengar dari balik tubuhku. Aku segera berbalik dan mengarahkan senterku pada lorong gelap di belakang. Suara itu langsung berhenti seakan-akan ia sedang bersembunyi di balik pintu-pintu yang baru saja kami buka. Aku menelan ludah, dan memutuskan untuk mengembalikkan pandangan.

Tap... tap... tap...

Suara langkah itu terdengar lagi, kali ini semakin dekat. Aku segera membalikkan badan, namun hasilnya tetap sama. Tidak ada siapapun yang sedang berdiri di lorong itu. Mungkin semua ini hanya halusinasiku saja? Tapi bagaimana kalau itu memang Topeng Putih sungguhan? Apa aku masuk saja dan memperingatkan yang lain diam-diam, ya?

Aku masih menimbang-nimbang keputusan ketika sekelebat bayangan hitam dengan topeng berwarna putih muncul dari balik tikungan dan melaju cepat ke arahku. Spontan, aku berteriak keras dan mengangkat tanganku untuk menutup wajah sambil memejamkan mata. Tapi bukannya dihantam oleh benda tajam atau sejenisnya, aku disambut oleh Alice dan Sam yang menghambur panik ke arahku.

Dengan napas terengah-engah aku mengedarkan pandangan secara acak ke sekitar kami. Tidak ada siapapun di sini selain kami bertiga. Jantungku masih berdegup dengan tempo yang sangat cepat. Seluruh tubuhku juga masih gemetaran.

"Kita balik aja ya Lin?" bujuk Alice sambil menopang tubuhku yang hampir ambruk dengan pelukan.

Lidahku kelu. Otakku masih terus-terusan memutar memori tentang teror Topeng Putih. Tapi aku tidak bisa menghambat penyelidikan. Kami sudah hampir berhasil menangkap seluruh penjahat itu, kalau berhenti dan semuanya gagal hanya karena trauma yang kualami, aku tidak akan bisa memaafkan diri sendiri.

"Nggak apa-apa." sahutku sekenanya sambil berjalan terseok ke dalam ruangan paling ujung dan bersandar pada tembok. "Kalian lanjutin aja, gue coba tenangin diri dulu."

[COMPLETED] Fall of the Last FortressWhere stories live. Discover now