47. Joshua

33 8 0
                                    

“Soal itu, biar urusan gue sama Bos aja. Udah, lo nggak usah ikut campur.”

Saat mendengar kalimat itu, aku tidak tahu mana yang lebih sulit dipercaya, pendengaranku atau penglihatanku. Pada dasarnya, aku jarang kepo. Aku menganut prinsip, kalau memang seseorang nggak mau memberitahu kita sesuatu, itu berarti kita memang nggak seharusnya tahu. Tetapi, hari ini, ke-kepo-an orang lain membawaku ke tempat ini: di depan warung antah-berantah, bersembunyi di balik dedaunan sambil menguping percakapan telepon Andrew, dan aku tidak tahu apa yang harus kulakukan dengan informasi ini.

Satu jam yang lalu, aku tiba di sekolah dan langsung masuk ke kamar. Pemandangan yang menyambutku adalah Luke yang sedang duduk murung di atas kasur. Sebenarnya, aku kasihan padanya, tapi aku sedang tidak mood membahas apa pun yang berhubungan dengan sidang Pak Stenley, atau surat kejiwaan, atau apa pun, dan cowok itu kelihatannya sudah siap menyemburkan pertanyaan begitu melihatku di ambang pintu. Jadi, aku buru-buru meletakkan barang-barang bawaanku di atas meja dan berniat untuk keluar. Saat itulah, aku menyadari sesuatu: perban yang dibeli Alice dari apotek Pak Panji terbawa olehku lantaran tadi aku memungut benda itu saat Alice menjatuhkannya di jalan.

Bagus, sih. Aku malah jadi ada alasan untuk keluar kamar.

“Mau ke mana lagi lo?” Luke bertanya saat aku sudah hendak keluar membawa bungkusan plastik berisi perban.

“Oh, ini, ngembaliin barangnya Alice bentar; kebawa sama gue,” jawabku.

“Habis itu lo balik kamar?” Luke bertanya lagi.

“Gue—”

Kring… Kring…

Bunyi telepon masuk nggak pernah membuatku selega ini. Aku memberi sinyal ‘nanti, ya’ pada Luke sambil mengangkat telepon dan keluar dari kamar.

“Josh, perban gue kebawa lo, ya?” Suara Alice langsung menyambut begitu panggilan tersambung.

“Iya, ini gue lagi otewe ke kamar Bryan,” jawabku. “Lo di sana, kan?”

“Em… daripada gitu… lo bisa ke taman bawah aja, nggak? Sekalian tolong bawain obat, gitu, kalo ada?” sahutnya cepat-cepat. “Gue… er… habis keluar sebentar buat jajan, trus malah jatuh lagi di taman. Nambah luka baru, deh.”

“Hah?” balasku. “Oke, oke. Tunggu bentar. Gue minta Bryan ambilin obat merah yang biasa lo pake—”

“Eh, j-jangan, Josh,” Alice memotong panik. “Maksud gue nyuruh lo ke sini biar Bryan sama Andrew jangan sampe tau. Cuma luka kecil aja, nanti malah mereka panik sendiri. Gue agak capek sekarang."

“Oh, gitu,” balasku. “Oke, deh. Lo tunggu, ya.”

Setelah mengambil obat merah dari kotak first-aid lantai tiga, aku segera turun menemui Alice. Untungnya, luka barunya memang benar-benar kecil dibandingkan luka lain yang ada di tubuhnya. Aku pun membantunya membersihkan luka dan memasang perban.

Saat itu pula lah, kami melihat pemandangan yang sangat aneh.

Andrew turun dari tangga dengan tergesa-gesa. Sulit melewatkan cowok itu lantaran rambutnya berwarna merah menyala. Tapi, tampaknya, nggak sulit melewatkan aku dan Alice. Buktinya, ia sama sekali nggak melihat kami walaupun sudah celingak-celinguk.

“Kenapa dia celingak-celinguk begitu?” gumamku pada Alice. “Lo tahu, nggak, dia mau ke mana?”

Alice rupanya hanya terpaku di tempat, mengawasi Andrew sampai sosok cowok itu menghilang di gerbang asrama. Begitu ia sudah tidak kelihatan lagi, Alice berdiri hampir secepat kilat, menjatuhkan obat merah yang tadinya ada di pangkuannya ke tanah. “Ayo, kita ikuti dia,” ajaknya.

[COMPLETED] Fall of the Last FortressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang