89. Rosaline

29 5 2
                                    

Sepertinya aku sudah mati, tapi Joshua menarikku kembali ke dunia.

Sungguh, rasanya aku seperti dihantui oleh bayangan Topeng Putih yang terus-terusan memukul dan menyiksaku berkali-kali. Napasku sangat sesak dan seluruh pandanganku sudah berubah putih. Rintihan Sam sudah tidak terdengar lagi, aku bahkan tidak tahu apakah ia masih ada di dekatku. Rasanya tubuhku seperti melayang ke udara perlahan-lahan. Mungkin aku kini sudah berada di hadapan Yang Maha Kuasa kalau seandainya Joshua tidak membunyikan sirene itu.

Rasa sakit kembali kurasakan, rasanya tidak ada oksigen yang bisa dicerna paru-paruku di dalam ruangan ini, dan ketika aku berusaha menarik napas panjang, napasku tercekat dan aku malah batuk-batuk setelahnya. Aku bisa merasakan Joshua berusaha memberikan pertolongan CPR padaku, tapi ia sepertinya tidak benar-benar tahu caranya, dan hal itu sama sekali tidak membantu.

Terkapar dengan napas tercekat, sekarat, dengan dada yang sakit habis ditekan.

Kupikir tidak ada yang lebih buruk dari hal itu saat tiba-tiba seseorang berteriak dari luar, "Kebakaran! Semuanya segera evakuasi ke luar, atau kita bakal mati bareng di bawah sini!"

Begitu mendengar suara berat dari luar yang kuduga milik keroco bertopeng putih. Joshua dengan sigap berusaha membantu kami berdua keluar, namun Sam menolak bantuannya dan menyuruhnya untuk membawaku saja.

"Lo bisa jalan, Sa?" tanya Joshua.

Jangankan berjalan, aku bahkan tidak punya tenaga yang tersisa untuk menjawab pertanyaan itu.

"Permisi bentar, ya." kata Joshua langsung menggendong tubuhku dan membawaku keluar dari dalam markas itu.

Suasana di luar sangat riuh, polisi yang sudah berjaga dengan cepat menangkap para preman yang keluar dengan sendirinya, seperti kelinci yang masuk ke dalam perangkap. Begitu melihat kami bertiga keluar dengan sempoyongan, tenaga medis yang entah kapan dipanggil langsung menangani kami.

Mereka langsung memberiku tabung oksigen untuk membantuku bernapas sambil mengecek saturasi paru-paruku yang tampaknya sudah dalam kondisi kritis, karena mereka langsung menidurkanku di kasur dalam ambulans dan melarang orang tidak berkepentingan untuk masuk. Hal selanjutnya yang kuingat hanyalah berusaha mengatur napasku kembali dengan perlahan-lahan seperti nenek tua yang sedang berbaring di atas ranjang kematiannya.

Aku masih bisa merasakan dinginnya alkohol yang mengenai kulitku saat petugas medis membersihkan luka-luka yang entah kapan kudapatkan. Setelah beberapa waktu, entah berapa lama, akhirnya pernapasanku kembali normal. Aku menatap langit-langit mobil ambulans dengan pandangan kosong sambil mengatakan "Lo baik-baik aja sekarang." berulang kali.

"Kamu udah nggak apa-apa?" tanya suster itu dengan perhatian.

Aku mengangguk singkat sambil melepaskan corong oksigen yang kupakai. Aku berusaha untuk duduk, dan kepalaku terasa berputar-putar sesaat. Kupejamkan mataku sampai rasa pusing itu menghilang sebelum berkata, "Makasih, sekarang udah nggak apa-apa."

"Istirahat dulu aja nggak apa-apa, kayaknya kondisimu masih belum bener-bener fit."

"Nggak apa-apa kok, aku mau lihat kondisi temen-temenku yang lain." jelasku.

"Yaudah, sebentar kucek dulu ya saturasinya sama tensinya. Jangan lupa teh manisnya diminum dulu supaya kadar gulamu nggak drop. Atau mau roti?" kata suster itu sambil menjalankan pemeriksaan. Setelah hasil yang didapatkan olehnya keluar dan kondisiku sudah kembali normal, ia memperbolehkanku untuk keluar dari ambulans sambil menyuruhku membawa roti dan teh dalam kemasan.

Aku melihat banyak sekali orang berlalu lalang mulai dari tenaga medis, polisi, dan pemadam kebakaran. Aku mencari-cari wajah familier milik temanku namun belum bisa menemukan satupun dari mereka. Sudah berapa lama aku berbaring? Apa mereka sudah keluar dari markas yang terbakar itu?

[COMPLETED] Fall of the Last FortressDove le storie prendono vita. Scoprilo ora