32. Gwen

29 6 0
                                    

Sekolah lagi.

Janggal rasanya harus bangun pagi dan mengenakan seragam, bertingkah seolah-olah kami tidak baru saja selamat dari markas pembunuh kemarin sore, dan rumus trigonometri adalah hidup dan mati. Padahal, semua kasus mengerikan yang terjadi telah membuka mataku bahwa dunia begitu luas dan mengerikan, ibarat metropolitan dengan sudut-sudut gelap yang tak nampak, sudut-sudut gelap yang berusaha diabaikan semua orang, tetapi senantiasa menunggu mangsa. Saat memandang pantulan diriku dengan seragam abu-abu di cermin, mendadak sekolah tak lagi terasa penting—malah terasa tak pantas.

Sehela napas berat lolos dari mulutku.

Sudahlah. Daripada berpuisi, lebih baik aku berangkat.

(Tapi, yang barusan sepertinya lumayan. Mungkin akan kutulis di buku catatan di kelas nanti.)

Kamar Jo adalah pemberhentian pertamaku. Aku bukannya biasa kemari sebelum sekolah, apalagi mengingat pria itu seringnya berangkat terlalu pagi, tetapi hari ini harus. Atau sebenarnya tidak, tetapi aku ingin datang saja.

"Ini, painkiller." Aku menyerahkan kapsul berbungkus plastik bening di tanganku pada Jo, yang pagi ini tampak... entahlah, aku tidak bisa mendeskripsikannya. Aku cukup suka perban di hidungnya itu, sebenarnya; membuatnya lebih tampak seperti bocah ceroboh yang selalu mengikutiku ke mana-mana beberapa tahun lalu daripada pria tampan fashionable yang tidak akan mau berteman denganku kalau saja kami bertemu baru-baru ini dan bukannya saat kecil dulu.

"Wah, perhatian banget?" Jo menyeringai jahil, menampakkan deretan gigi-giginya yang rapi. "Kamu sengaja ke sini buat ngasih ini?"

"Mau jawaban jujur atau bohong?"

"Bohong."

"Nggak. Aku cuma kebetulan lewat."

Senyum Jo melebar, selagi tangannya meraih painkiller di tanganku. "Thanks, Bos."

Agak kecewa, sebenarnya, Jo tidak menanyakan jawaban jujurnya. Kalau ia bertanya, mungkin aku akan punya celah dan keberanian untuk mengungkapkan pertanyaan yang sejak kemarin terus berseliweran di dalam benakku: Kenapa namaku ada di daftar kelemahanmu?

Daftar panjang itu berisi sifat-sifat buruk, atau hal-hal yang bisa membuat masing-masing kami bertindak gegabah, mengabaikan akal sehat. Untukku, hal itu rata-rata berkaitan dengan penyakitku. Untuk Jo, di sisi lain, daftar itu begitu abstrak. Namaku... apa maksudnya? Apakah ia takut padaku, atau malah takut kehilangan aku?

Otakku pasti sudah rusak untuk bisa memikirkan kemungkinan kedua itu. Kenapa ia harus takut kehilangan aku, saat kami sudah kehilangan satu sama lain selama tujuh tahun? Apakah selama tujuh tahun itu, aku tidak pernah benar-benar hilang dari pikirannya?

Aku pasti sedang dramatis lagi. Mungkin penjelasannya tidak sedalam itu. Mungkin ia hanya takut padaku, seperti orang-orang lainnya. Hanya saja, ia merasa berkewajiban untuk bersikap ramah padaku karena kami pernah bersahabat di masa lalu, dan kebetulan aktingnya begitu bagus sampai aku sendiri tidak menyadari rasa takutnya.

Ah, pemikiran itu membuatku sakit hati. Apa aku ini masokis?

"Wah, ada Gwen." Seseorang muncul dari balik bahu Jo—seseorang yang, tentu saja, adalah Luke. Untuk ukuran korban penculikan dan penyekapan yang belum genap dua minggu bebas, ia terlihat bugar. Wajah cerah, rambut disisir rapi, gaya jalan yang mantap... Lucu bahwa ada orang-orang sepertinya, yang barangkali bisa tidur nyenyak di dalam gudang bawah tanah yang suram itu, dan di sisi lain, ada orang-orang sepertiku.

Aku tidak suka Luke. Mungkin karena ia selalu sok akrab padaku, mungkin bukan. Mungkin juga karena aku tidak suka pembawaannya yang santai—terlalu santai sampai terasa mengerikan. Atau mungkin ini karena trust issue yang disebut-sebut Topeng Putih itu? Entah.

[COMPLETED] Fall of the Last Fortressحيث تعيش القصص. اكتشف الآن