19. Rosaline

26 10 0
                                    

Aku kasihan pada Alice.

Aku tidak tahu apakah ini hanya kebetulan, atau ini ulah Topeng Putih untuk sengaja merusak acara ulang tahunnya demi mengacaukan psikologis kami, tapi yang pasti anak itu sangat malang. Ketika aku mengunjunginya pagi-pagi, ia masih sesenggukan sambil meminta maaf karena sudah berisik semalaman. Dan karena hal itu, Bryan serta Andrew ikut kewalahan untuk menghiburnya dengan terus-terusan mengatakan 'tidak apa-apa', padahal kantung mata mereka sudah setebal kamus.

Padahal, aku sudah bersiap untuk sekolah pagi tadi. Bukannya aku tidak memikirkan temanku dan tetap mau masuk sekolah, sih. Tapi, kalau aku bolos sehari saja, otakku yang super bodoh akan membuatku tidak naik kelas.

Tapi pada akhirnya aku membolos juga, sih.

Toh, kalau aku masuk juga tidak akan membuatku jadi langsung pintar dan jenius seperti Bryan. Lagipula, orang-orang sepertiku juga akhirnya menjadi kaum tertindas yang tidak mungkin menduduki jabatan atas suatu perusahaan. Mending, aku menemani Alice di sini—di kamar Bryan, bersama teman-temanku yang lain. Setidaknya, aku bisa jadi orang yang setiakawan meskipun bodoh.

"Maklum, kok, kalo lo rewel waktu lagi sakit." sahutku sambil mengelus bahu Alice perlahan—sebenarnya, aku ingin memeluknya agar ia tenang, namun aku takut malah mengenai lukanya.

"Tapi, Bryan sama And—"

"Kita nggak keganggu, kok. Gue, kan, emang sering nggak tidur. Lo aja tahu sendiri, kan? Gue sering keluar malem-malem karena memang banyak pikiran aja. Otak gue jalan terus. Di luar masih ada kasus yang belum selesai, gimana gue bisa tidur?" bujuk Bryan entah sudah keberapa kalinya.

"Ho-oh, gue juga nggak tidur gara-gara masih mikir bajingan mana yang berani ngerusak acara yang udah gue susun kemarin." sahut Andrew juga entah sudah keberapa kalinya.

"Tapi—"

"Anyways," aku buru-buru memotong sebelum Alice kembali overthinking dan menangis lagi, dan kejadian barusan akan kembali terulang entah sampai kapan. "Menurut kalian, ini ada hubungannya sama dia nggak, sih?"

"Mungkin iya." sahut Bryan. "Terlalu kebetulan ada yang nabrak kalian berdua malem-malem dengan kecepatan segitu dan menghilang setelahnya. Kalo orang normal, sih, harusnya dia ngerasa bersalah dan nolongin, ya. Tapi nggak tahu lagi kalo orang mabuk atau Andrew yang bawa motornya nggak bener."

"Gue bawanya bener, tau. Gue udah pegang motor saat lo masih sibuk sama buku dongeng." sahut Andrew sengak. "Bahkan, gue nggak ngebut—lo bisa tanya Alice. Tau-tau aja, dari belakang, si Anjing ngegas mobilnya. Gue berusaha ngimbangin kecepatan, tapi gue nggak nyangka kalo dia mau nabrak kita, orang sinting emang."

"Makanya, tunggu punya SIM dulu baru bawa anak orang." omel Bryan.

"Eh, gue, kan, juga nggak tau bakal begitu jadinya, Monyet. Gue juga baru sekali—"

"Aneh." Gwen tiba-tiba bergumam, membuat semua orang memusatkan perhatian padanya.

"Kenapa, Gwen?" tanyaku, yang sudah mulai terbiasa dengan keberadaan cewek misterius ini di sekitar kami.

"Semisal dia beneran full speed kayak yang lo bilang, dan nabrak lo dari jarak segitu—bukannya mau nyumpahin, ya—tapi harusnya kalian udah mati, deh, atau minimal patah tulang? Koma?" katanya membuat suasana ruangan langsung berubah mencekam. "Eh, meninggal, maksud gue, aduh—maaf, kebiasaan. Gue nggak bilang Andrew bohong juga, tapi dengan level luka yang kalian dapet, most likely dia ngerem di detik-detik terakhir."

"Ngerem?" aku membeo. "Seandainya itu bener Topeng Putih, kalo dia berniat nyingkirin kita satu-satu, sih, kayaknya kemarin saat yang tepat, deh. Nggak ada yang bakal curiga, bisa ditutup sebagai kecelakaan biasa. Tapi, kalo bener dia ngerem, mungkin memang bukan Topeng Putih, kali, ya? Cuma orang kaget, salah injek, terus—"

[COMPLETED] Fall of the Last FortressWhere stories live. Discover now