21. Rosaline

19 10 0
                                    

"Senjata Rey ternyata cuma replika." kata Bryan dengan tampang lesu setelah memberikan bungkusan makanan padaku dan Alice yang kini sudah duduk manis menyantap makanannya.

"Hah? Terus?" tanyaku.

"Ya artinya Benny nggak ada sangkut pautnya sama Panji." timpal Andrew. "Yang berarti, kita bisa nyoret satu kandidat dari daftar tersangka yang kita punya. Berarti sekarang sisa siapa aja? Anak-anak cheers gimana?"

Mendengar kalimat itu, aku langsung merasa terpanggil dan menjawab, "Kemarin gue sempet cerita-cerita sama Kesha. Yang dia janjian sama Alexa ke lab biologi pas hari penculikan pertama itu... katanya memang waktu itu Alexa yang nawarin minjemin catetannya gitu pas di sekolah, trus dia yang disuruh SMS mau ketemu di mana dan kapan. Kesha sih, mau-mau aja. Pas disuruh pindah ke kamar Alexa juga, dia juga ngikut aja, mau pansos kayaknya. Dan sekarang, kan, kita udah tau kalo ternyata bukan Alexa yang diculik. Trus, soal dia hilang waktu—"

"Kesha sempet hilang?" tanya Bryan.

"Oh, gue lupa cerita kayaknya. Atau sengaja nggak cerita, soalnya dulu kalian selalu aja nggak percaya anak cheers ada sangkut-pautnya, sih. Tapi memang belum ada bukti mereka bersangkutan juga. Gue jadi bahas apa sih, ini nggak jelas." kataku sambil mengerutkan alis, kebingungan sendiri. "Intinya, waktu itu gue sempet curiga sama Kesha soalnya waktu ada korban yang hilang, pas Kesha juga nggak ada di panti asuhan. Tapi, ternyata dia cuma kambing hitam aja kayak Pak Stenley."

"Tapi lo yakin dia nggak bohong atau gimana?" tanya Bryan lagi.

Aku menggeleng, "Gue kenal Kesha udah dari lama dan tahu jelas kapan dia bohong, kapan dia jujur. Gelagatnya keliatan banget."

"Oke... Berarti kita cuma bisa nyelidikin dari orang-orang yang deket sama Willy. Iya, kan?" Joshua menyimpulkan.

"Alexa nggak deket sama Willy." sanggah Andrew lalu tersenyum jahil dan menunjuk dirinya sendiri. "Gue deket sama Willy."

"Berarti bukan masalah dia deket atau nggak, sih," kata Bryan. "Mungkin Panji memang sengaja ngambil anak-anak yang keliatan nggak deket satu-sama-lain buat dilatih. Atau malah, ada aturan buat mereka untuk nggak satu kelompok sama satu-sama-lain."

"Bisa jadi gitu." sahut Gwen. "Karena kalo misal mereka nggak punya perasaan deket, bakal lebih mudah buat mutus ekor kalau seandainya salah satu ketangkep. Nggak ada solid-solid-an, yang penting rencana jalan. Malah, nggak menutup kemungkinan mereka nggak tahu identitas satu-sama-lain."

"Oooh... iya, iya, kayaknya gitu!" Sam menyahut bersemangat, "Waktu itu, Iris bilang, dia juga nggak tahu siapa yang mau bayar duit tiga juta ke dia. Katanya nggak mau ngasih tahu nama, gitu. Apa jangan-jangan Topeng Putih kayak gitu semua—"

"Nggak, deh," Bryan langsung menyanggah, "Soal itu, gue yakin mereka tahu, sih, identitas semua orang di kelompok. Iris nggak tahu karena dia emang bukan anggota kelompok dan cuma pihak luar yang mau dibayar aja. Soalnya... err... lo lupa penyebab kematian Willy apa?"

Suasana langsung berubah hening akibat pertanyaan terakhir itu.

Gwen mengalihkan pandangan ke lantai. "Oh, iya, sori," gumamnya, "Gue lupa. Lo bener."

"Berarti kita harus mulai dari mana lagi?" tanyaku.

"Catherine." "Panji." Gwen dan Andrew menyahut bersamaan, lalu mereka berdua saling berpandangan setelahnya.

"Panji aja, deh." kata Bryan sambil melirik Alice yang untungnya tidak menyimak pembicaraan lantaran sedang sibuk mengunyah makanannya. Untung saja kantin hari ini memasak makanan kesukaannya, jadi ia sempat teralihkan dari nama yang bisa membuat dunianya terbalik.

[COMPLETED] Fall of the Last FortressWhere stories live. Discover now