39. Joshua

18 10 0
                                    

Selama sisa perjalanan, aku dan Gwen tidak mengatakan apa-apa lagi, hanya duduk berjauh-jauhan seperti orang asing, walaupun beberapa kali, ia masih melemparkan ekspresi penuh kemenangan padaku. Saat taksi sudah melambat dan lampu sen kiri sudah dinyalakan, aku melongok ke luar jendela.

Di antara deretan kafe dan restoran yang berjajar dengan lampu-lampu terang, tampak sebuah bar besar dengan tulisan neon merah raksasa berbaca 'KUSUKA'. Di lahan parkirnya yang luas dan dipercantik oleh tanaman hias yang dipotong rapi, jajaran mobil sport mewah terpampang seperti di display showroom. Mobil-mobil pendek itu nggak hanya tampak di lahan parkir bar, melainkan juga di lahan parkir restoran dan kafe di sampingnya, menandakan seluruh daerah ini memang kawasan elit, dan semakin memerjelas alasan mengapa kami nggak pernah menginjakkan kaki di sini.

"Enam puluh empat ribu," Pak Sopir menyebut tarif saat mobil sudah dihentikannya di depan bar. Aku segera membayar dan melangkah keluar dari taksi. Gwen juga melakukan hal yang sama, berjalan mendahuluiku menuju pintu masuk bar, tempat yang lain sudah menunggu.

"Hah, anjir!" Nggak mengejutkan, Sam adalah yang paling pertama bereaksi. "Sok keren lo, Josh. Ih, rambutnya pake di-gel-gel segala, macem Jimmy Tronton—"

"Sam, diem, deh. Lo mau diusir satpam di sini juga?" Bryan memotong tidak sabar, membuatku terkekeh geli. Lagian, Sam juga aneh. Masa dia baru sadar kalau rambutku di-gel, padahal selama ini aku selalu menatanya seperti itu, bahkan saat sekolah? Oke, mungkin hari ini gel-ku agak ekstra, sih, tetapi tetap saja, dia harusnya sadar sejak tadi. (Aku juga nggak kelihatan seperti Jimmy Neutron, buat yang bertanya-tanya siapa Jimmy Tronton yang dimaksud Sam.)

"Lo keren banget, Josh," Rosa mendekatiku sambil tersenyum cerah. "Nggak kaget, sih. Lo emang selalu paling stylish, sih, ya."

"Hah, apanya," tepisku sambil tertawa kecil. Rosa memang sering terlalu menyanjungku, sampai lama-lama aku kehabisan respons. Sebenarnya, kalau dibilang paling memerhatikan penampilan dibanding yang lain di tim kami, mungkin benar. Tetapi, kalau stylish, sih, nggak. Lagipula, alasanku merapikan diri adalah karena aku memang harus berusaha lebih keras daripada yang lain untuk tampil, setidaknya, oke. Itu, kan, bukan hal yang bisa dibanggakan. "Kayak tukang ojek pengkolan, nggak?" aku bertanya pada Bryan, yang selalu jujur, kadang malah tanpa diminta.

"Kalo diperhatiin kualitas kulitnya, iya," jawabnya. "Tapi nggak masalah. Gelap juga. Toh, lo cuma perlu kelihatan meyakinkan sampe ketemu orangnya."

"Ih, nggak, kok, Josh. Keren, kok." bantah Alice, seperti biasa senang menyanjung orang lain. Kuperhatikan, sifatnya yang ini sepertinya adalah salah satu faktor banyak cowok cepat jatuh hati padanya, termasuk sohibku yang seumur hidup hampir tidak pernah naksir orang sampai-sampai kukira bakal berakhir menjadi Pastor, dan Andrew, yang menghabiskan separuh hidupnya mengejar-ngejar Fellicia tanpa bahkan melirik satu pun cewek lain.

"Ini gimana, sih, situasinya?" Gwen bertanya, mengembalikan topik ke jalan yang benar. "Orangnya di dalem lagi ngapain? Nongkrong?"

"Ya nggak tahu, lah," Andrew membalas. "Emang lo kelihatan orangnya dari sini?"

"Ya udah, berarti kita harus buruan karena nggak tahu dia lagi ngapain," Gwen menyimpulkan sambil melepas jaketku yang masih melingkar di pundaknya dan mengacungkannya padaku. Saat ia melakukan itu, semua orang otomatis terbengong menatapnya, kemungkinan besar baru menyadari pilihan busananya yang lumayan terbuka. Sam hampir memekik, tetapi buru-buru tutup mulut dan berdiri rapat denganku.

"Eh, wow, cantik banget, Gwen," Alice berkomentar. "Lo cocok, ya, ternyata, pake dress."

"Makasih, deh," Gwen menyahut buru-buru. "Udah, udah, harus masuk sekarang. Titip ransel, ya." Gwen menitipkan ranselnya pada Alice, dan aku pun ikut menitipkan kantong plastik berisi baju di tanganku pada Bryan.

[COMPLETED] Fall of the Last FortressWhere stories live. Discover now