53. Alice

25 8 0
                                    

Aku tidak mau lagi menangis di depan orang.

Makanya, setelah mengonfrontasi Andrew dan membuka semuanya, aku langsung pergi keluar dari gudang sejauh mungkin agar tidak ada yang bisa mengejarku. Aku mendengar Rosaline meneriakkan namaku di belakang, namun aku tidak menoleh lantaran air mata sudah kembali membanjiri wajahku. Aku muak dengan semuanya, aku tidak tahu harus percaya siapa lagi. Meskipun Joshua yang menemaniku saat aku menemukan kebenaran tentang Andrew saat itu tampak tidak bersalah, masih ada kemungkinan dia juga antek Topeng Putih.

Dia kan jago akting.

Aku tidak mau lagi memercayai orang lain, atau memberikan hatiku pada mereka. Aku hanya memercayai diriku sendiri, tidak ada yang lain. Jadi, aku mengabaikan teriakan orang yang memanggil namaku dan terus melangkah. Aku butuh waktu sendiri. Aku tidak mau diganggu orang. Pada akhirnya, kakiku malah membawaku ke tempat yang paling tidak masuk akal, loteng sekolah.

Aku bodoh sekali menangis di loteng tempat Andrew sering nongkrong, dan tempat yang sudah menjadi rumah keduanya, sekaligus tempat di mana semuanya bermula. Namun, hanya di sini satu-satunya tempat aku bisa sendirian. Aku langsung menutup pintu dengan buru-buru dan duduk bersandar di dinding sambil memeluk lutut. Kukira aku bisa menangani ini semua, tapi ternyata hanya melihat wajahnya saja rasanya hatiku seperti dicincang menjadi kepingan-kepingan kecil. Hatiku sakit, dan isakanku tidak bisa berhenti setelah melihat wajahnya secara langsung. Raut wajahnya menunjukkan ia merasa bersalah dan sangat sedih.

Tapi anehnya, ada suara lain dalam diriku yang mengatakan semuanya hanya sandiwara.

Aku benar-benar tidak tahu mana yang benar dan mana yang tidak. Atau memang tidak ada yang benar dari seluruh tindakannya dan ia hanya memanfaatkanku selama ini? Aku memang tidak pandai menilai orang, aku tidak tahu mereka menyembunyikan apa dariku dan aku selalu beranggapan bahwa orang lain akan baik padaku kalau aku baik pada mereka. Tapi pemikiran itu ternyata salah besar. Aku tidak bisa berharap singa tidak akan memakanku meskipun aku tidak berniat memakannya, kan?

Bagaimana kalau selama ini ia hanya mau memanfaatkan aku, atau ia hanya menganggapku sebagai mainan? Atau aku dijadikan alat untuk mengorek informasi pribadi Bryan karena aku yang paling mudah dibodohi dan kebetulan dekat dengan otak IMS? Lalu ia pindah satu kamar denganku hanya untuk mencari tahu apa rencana IMS dan menghancurkannya? Pantas saja kita tidak pernah menemukan jalan yang benar dan selalu jalan buntu. Semua pembicaraan kami, selalu ia arahkan ke jalan buntu dengan dalih kemampuan hacking-nya.

Selain itu..., kalau Andrew juga adalah Topeng Putih, jangan-jangan orang yang membunuh Willy saat itu juga suruhan Andrew demi menutupi identitasnya?

Bulu kudukku merinding seketika.

Semua ini membuatku marah sekaligus sedih. Aku pun berteriak sambil memukul-mukul aspal untuk menghilangkan rasa kesal di hatiku. Air mata tidak berhenti dari mataku. Seharusnya aku menamparnya tadi. Dasar bodoh, kenapa aku selalu saja menjadi orang yang lemah sampai butuh orang lain untuk mewakilkan menampar wajahnya? Kenapa, sih? Kenapa aku harus jatuh cinta dengan orang seperti ini? Kenapa aku harus terlahir bodoh dan mudah sekali dibodohi seperti ini? Bahkan oleh pembunuh orang tuaku.

Aku marah.

Marah sekali sampai aku bisa menjambak habis seluruh rambutku sekarang. Namun aku masih waras untuk tidak menyakiti diri sendiri, jadi aku melampiaskan kekesalanku dengan memukuli tangki air dengan balok kayu yang tergeletak di dekatnya sambil berteriak kesetanan.

Kriet...

Pintu loteng tiba-tiba terbuka, membuatku berhenti sesaat.

Tapi, siapa pun yang ada di balik pintu itu tetap tidak akan bisa meredakan amarahku. Aku tetap akan tinggal di sini sambil memukuli tangki air meskipun yang datang adalah kepala sekolah sementara, Pak Joseph sendiri. Tidak butuh waktu lama sampai sosok di balik pintu menampakkan wajahnya.

Itu Bryan.

Ia menatapku dengan tatapan iba, tatapan yang seharusnya membuatku lebih kesal karena merasa dikasihani, tapi anehnya aku malah merasa sedikit ringan. Aku menjatuhkan balok kayu di tanganku, dan tahu-tahu saja aku sudah berlari mendekati sosok yang masih berdiri di depan pintu yang tertutup itu dan memeluknya. Aku menangis sejadi-jadinya, di dalam pelukan Bryan. Tidak seperti biasanya, badannya tegang. Sepertinya ia juga merasa dikhianati oleh orang yang mulai ia percaya selama ini. Tapi, saat ini aku butuh tempat untuk bersandar, aku ingin sekali saja menjadi egois dan memikirkan diriku sendiri. Aku menangis sejadi-jadinya di dalam pelukan Bryan, meskipun aku tahu cowok itu juga butuh penghiburan.

"Sorry lo harus lihat gue kayak gini." kataku setelah merasa agak tenang. "Lagi."

"Anytime. Kan gue udah bilang kalo gue bakal selalu ada buat lo, Lice." katanya sambil memaksakan seulas senyum. "Malah kalo lo lempeng-lempeng aja, gue bakal lebih khawatir."

Aku tidak sanggup menjawab. Aku hanya terisak sambil masih memeluk tubuhnya yang terasa hangat. Aku bodoh, aku tidak seharusnya mempercayai siapapun termasuk Bryan. Mungkin, bisa jadi, ia juga antek Topeng Putih yang sedang berpura-pura memimpin penyelidikan ini hanya untuk menyesatkan aku. Siapa yang tahu?

Aku melepaskan pelukannya dan mengusap air mataku lalu berkata, "Sorry, Bry, bukannya mau nyinggung perasaan lo atau gimana, tapi gue lagi butuh waktu sendirian."

Bryan tersenyum penuh pengertian lalu mengangguk lemah. "Oke, tapi janji sama gue lo nggak akan ngelakuin hal-hal ekstrem."

Aku tidak paham apa maksudnya, tapi aku tetap mengangguk agar ia cepat meninggalkanku sendirian. "Makasih." sahutku berusaha terdengar sopan.

Fakta bahwa ia menyusulku dan berusaha mencariku sampai ke loteng membuatku merasa bersalah memperlakukannya seperti ini. Tapi Andrew, yang kukira adalah orang yang baik dan bisa kujadikan tempat bersandar saja ternyata bisa menipuku, apalagi Bryan yang notabene termasuk golongan pintar di sekolah ini. Dan Catherine, yang meskipun sebelumnya berusaha mati-matian kubela. Atau Gwen, yang kupikir hanya orang baik namun unik yang kesepian. Kini aku sadar bahwa aku tidak bisa mempercayai siapapun. Apalagi orang dari panti asuhan ini. Terutama orang-orang yang bersikap terlalu baik di sekitarku.

[COMPLETED] Fall of the Last FortressWhere stories live. Discover now