79. Alice

24 6 2
                                    

Aku kelepasan karena terlalu murka, tapi aku tidak menyesal sudah mengatakannya. Karena perkataanku, Catherine langsung menjerit dengan nada yang sangat tinggi, dan sangat keras sampai memekakkan telinga.

"BANGSAT! JANGAN MENTANG-MENTANG CATHERINE NGELINDUNGIN LO, LO BISA SEENAKNYA!" katanya sambil berlari ke arahku, mengangkat pisaunya tinggi-tinggi.

"Queen, tenang dulu." Bryan berusaha menenangkan Catherine, namun ia tidak mau dengar.

Catherine berlari ke arahku dan menjambak rambutku begitu keras sampai aku hilang keseimbangan dan jatuh bersama dengan kursi tempatku diikat. Aku menjerit kesakitan dan pandanganku berputar. Tapi, Catherine tidak peduli.

TAK!!

"CATHERINE!"

Bryan menjerit saat bunyi pisau bacok yang keras terdengar. Aku kehilangan kata-kata saat menyadari bahwa Catherine baru saja memotong rambutku dengan pisau bacok itu tepat di atas ikatan rambutku. Kalau pisau itu meleset sedikit saja, pasti kepalaku sudah terkena bacok. Belum sempat aku bereaksi, Catherine sudah ganti mengambil pisau yang lebih besar dan bersiap menghujamkannya ke perutku.

Aku langsung menutup mata sambil menahan napas, bersiap untuk merasakan sakit yang tak terkira. Kupikir aku akan mati hari ini, di tangan Catherine, namun serangan itu tidak kunjung mendarat. Kubuka kembali mataku, dan mendapati Catherine sedang mematung di tempat sambil mengacungkan pisaunya tinggi-tinggi. Ekspresinya berubah, ekspresi itu... Ekspresi Catherine yang kukenal.

"UDAH AKU BILANG JANGAN LUKAIN ALICE!" Catherine memekik nyaring pada dirinya sendiri sambil menangis. "PERMINTAANKU CUMA ALICE, KENAPA SUSAH BANGET, SIH?!"

Sosok Queen langsung lenyap setelahnya. Sepertinya sisi Catherine adalah sosok asli pemilik badan itu, sehingga ia lebih kuat daripada Queen dan bisa menghentikannya kalau ia mau. Aku tidak tahu apa yang membuat Catherine se-protektif itu terhadapku, tapi aku sangat bersyukur.

"Maaf ya, Lice," kata Catherine sambil meletakkan kembali pisaunya ke dalam jubah dan mendekat ke arahku. "Queen memang gitu, suka seenaknya sendiri. Belakangan aku udah nggak cukup kuat buat ngehalangin dia, tapi barusan dia kelewatan banget, jadi aku harus bikin dia pingsan kayak gini. Aku nggak tahu ini bisa bertahan berapa lama, tapi tenang, aku udah hubungin orang buat ngejaga kamu dari serangan Queen. Harusnya dia bentar lagi sampai."

Teman? Apa yang dia maksud adalah Stalker?

"Bentar ya, aku keluar dulu." Catherine buru-buru keluar setelah mengenakan topengnya, entah dengan alasan apa. Wajahnya kelihatan sangat terpukul sebelum ditutup oleh topeng.

Aku langsung berusaha menoleh ke arah Sam yang sedang merintih kesakitan sejak tadi, namun aku tidak cukup lentur untuk bisa melihat wajahnya. Jadi aku berkata, "Sam?"

"Kalo lo mau nanya kabar gue, rasanya sakit banget kayak mau mati. Darahnya dari tadi nggak berhenti." katanya sambil merintih. "Dan gue juga nggak sanggup liat... hoek! Potongan jari... gue... Aduh, kalo ada yang bisa singkirin, tolong, dong."

"Aduh, nggak bisa... Gue nggak bisa gerak. Merem aja dulu, ya, Sam. Lo gimana Bry?" tanyaku pada Bryan yang tampak biasa saja.

"Lama-lama gue mulai kebiasa sama luka tusuk, sih. Masih lebih sakit kena tembak peluru waktu itu, dan ini jelas bukan bagian vital, jadi nggak perlu khawatir." jelasnya. "Pokoknya kalo dia dateng lagi, kalian jangan teriak-teriak. Psikopat malah suka kalo kalian nangis sambil teriak gitu. Sakitnya ditahan aja, oke?"

Aku mengangguk paham.

"Guys," bisik suara familier dari balik kami.

"Loh... lo nggak pingsan?" tanyaku pada Rosaline.

[COMPLETED] Fall of the Last FortressWhere stories live. Discover now