34. Sam

20 7 0
                                    

"Soal The Hawks, masih jalan?" Itu adalah pertanyaan pertama Bryan pada Monster Andrew begitu kami semua sudah berkumpul di kamarnya saat malam tiba. Pertanyaan itu langsung membuat kepalaku pusing, mendadak ingat bahwa ada banyak banget hal yang harus kami selidiki, padahal satu saja aku nggak ngerti.

Pertama, masalah The Hawks. Kedua, masalah Pak Stenley yang ternyata gila. Ketiga, aku sudah nggak ingat lagi. Kenyataannya, sejak tadi siang, yang kupikirkan cuma: Pak Stenley gila, Pak Stenley gila, Pak Stenley gila...

"Jujur, gue bingung, sih," Monster Andrew menjawab. "Banyak banget infonya, tapi nggak tahu mana yang bener, mana yang sesat. Gue, sih, sekarang ada daftar orang-orang yang dicurigai sebagai anggota, tapi di antara sekitar sepuluh nama itu, nggak ada satu pun yang gue yakin. Yang jelas, kata teori orang-orang, sih, anggota The Hawks punya tato samaan, gitu, bentuknya burung elang."

"Kalo tempat mereka biasa beroperasi, gitu?" tanya Bryan lagi. "Misalnya dari foto-foto atau apa, kek."

"Nah, itu, kayaknya mereka beroperasi sendiri-sendiri. Tapi, mereka sama-sama suka bertransaksi di tempat rame daripada sepi. Itu katanya kenapa mereka susah banget ditangkep," jawab Monster Andrew. "Di club sama bar, terutama. Selain itu, di pasar, terminal, stasiun, gitu kayaknya."

"Di deket sini ada, sih, stasiun," Rosaline berkata. "Mau ke sana?"

"Tapi masa kita mantengin stasiun seharian? Iya kalo itu stasiun tempat mereka biasa beroperasi dan pas ada yang ke sana, kalo enggak?" Monster Andrew membalas. "Deadline kita udah mepet, nih. Apa mau didatengin aja sepuluh orang yang ada di list gue? Ditanyain satu-satu, gitu, siapa tau mereka ada info. Gue nggak ada alamatnya, sih, tapi mungkin kita bisa sok-sokan janjian, gitu, pake alesan apa, kek, kalo gue bisa nemu kontaknya—"

"Itu bukannya malah mencurigakan?" Bryan menyahut dengan mata disipitkan sok keren. "Emang lo yakin, sepuluh orang ini nggak komunikasi? Kalo iya, bisa-bisa mereka udah tukeran kabar kalo ada bocah-bocah mencurigakan yang dateng, nanya-nanyain soal Panji, dan kita malah jadi bulan-bulanan organisasi ilegal."

"Iya kalo cuma di-bully aja gapapa. Kalo nanti kita malah diculik, trus dijual organ-organnya gimana? Kan... serem," tambah Alice dengan suara pelan yang malah membuat ucapannya terdengar makin seram. Sial, masuk akal juga kalau anggota organisasi itu ternyata penjual organ.

"Iya, deh," Joshua si Hidung Separo ikut berkomentar. "Kayaknya mending dikerucutin dulu daftarnya sampe jadi dua atau tiga orang, maksimal. Lagian, eh... duit gue juga nggak cukup kalo buat nyamperin sepuluh orang, apalagi kalo tempat tinggalnya mencar-mencar di seluruh Jakarta."

Ha, ternyata dia cuma bokek saja! Pantas tiba-tiba komentar.

"Soal duit itu, bukannya kita harus cari pinjeman, ya?" Alice nimbrung lagi. "Err... bukannya gimana, sih, tapi... habis ini kita bakal ketemu sama anggota The Hawks. Selain buat taksi, seenggaknya, beberapa dari kita juga butuh penyamaran, nggak, sih, biar nggak dicurigai?"

"Iya, gue setuju," Rosaline ikut-ikutan. "Kasihan juga, duit Joshua habis buat bayarin taksi sama senjata kita kemarin-kemarin. Padahal, itu, kan, tabungan dia. Harusnya kita ngutang aja, trus dibayar bareng. Duit Joshua yang kemarin juga sekalian ditukerin, dianggep utang."

"Gue setuju, sih, soal ngutang buat tambahan," Hidung Separo berkata. "Tapi, soal duit gue yang kemarin, nggak usah ditukerin. Santai aja. Gue juga nggak tahu, kok, itu nabung buat apa. Daripada mubazir, mending dipake buat hal yang berguna."

"Eh, mau ngutang ini?" aku langsung menyahut cepat-cepat, mendengar kata 'utang' yang sepertinya disetujui semua orang. "Jangan ngutang Iris, ya."

"Lah, kenapa?" Hidung Separo membalas bingung. "Padahal, gue baru mau ngusulin itu. Iris, kan, paling tajir di seluruh panti."

[COMPLETED] Fall of the Last FortressWhere stories live. Discover now