13. Andrew

24 9 0
                                    

Ketika aku membuka mata, ruangan sudah kosong.

Cahaya matahari sudah merasuk ke dalam ruangan melalui ventilasi di atas pintu. Hal pertama yang kurasakan adalah sakit punggung. Sepertinya ide buruk tidur di lantai tanpa beralas apapun. Gara-gara si bangsat Bryan merebut selimutku, aku jadi terpaksa tidur beralaskan lantai saja.

Kampret, memang. Padahal, rencananya, aku mau ngucapin Alice ulang tahun pagi-pagi buta waktu Bryan sudah pergi dari kamar, tapi malah ketiduran.

Aku segera meraih ponselku yang kuletakkan di atas meja belajar Bryan untuk melihat jam lantaran cowok itu tidak memiliki jam dinding sama sekali. Kamarnya itu meskipun luas, benar-benar minim barang, bahkan jam dinding saja dia tidak punya.

Pukul sebelas siang.

Ternyata ini tidak sepagi yang kukira. Untung saja sekarang hari Minggu. Kalau tidak, aku pasti sudah kena omel Pak Tanto karena telat masuk kelas lagi. Aku buru-buru bangkit dari kasur dan berjalan menuju pintu. Di pintu tersebut, terpasang sebuah kertas bertuliskan "Jangan dikunci, biarin kebuka aja, nanti abis latian gue balik lagi." yang pastinya ditulis oleh pemilik kamar. Acuh tak acuh, aku keluar dari kamarnya dan berjalan menuju kamarku sendiri untuk mengambil alat mandi.

Saking buru-burunya kemarin, aku sampai lupa membawa alat mandi ke kamar Bryan. Mau tidak mau, aku harus kembali ke kamarku untuk mengambil alat mandi sekarang. Ketika berjalan menuju kamarku, otakku terus berputar, mencari-cari apa yang harus kuberikan untuk Alice di ulang tahunnya hari ini.

"Ndrew! Bengong aja, lo! Ntar kesambet, lho." suara familier membuatku langsung kembali pada kesadaranku. Aku sempat kaget melihat sosok yang menyapa itu, tapi sebuah senyum sumringah langsung terbentuk di bibirku setelahnya.

"Loh, Rey! Lo udah balik?" sahutku membalas rangkulannya.

"Udah, sih. Akhirnya gue mutusin balik, soalnya bosen juga di sana." sahutnya.

"Gue kira lo mau pura-pura sakit lagi. Waktu gue sama Felli ngunjungin lo kemarin, kan, gitu. Lo masih pura-pura sakit biar nggak dipulangin. Emang anjir." candaku.

"Nggak, ah. Bosen di sana. Lagian, gue nggak balik cuma takut aja pelakunya masih berkeliaran. Fakta bahwa gue yang dicelakain sama si bajingan itu, bukannya puluhan orang yang ada di sini, bikin gue mikir, kali aja gue pernah salah sama dia. Takut, gue, dikirim ke rumah sakit lagi. Tapi, sekarang kan pelakunya udah ketangkep." jelas Rey.

"Trus, luka lo gimana?" tanyaku.

"Udah mendingan dari lama, kok." sahutnya sambil mengangkat kaos yang ia kenakan, menunjukkan luka bekas jahitan yang terpampang di perutnya. "Anjir, jadi kayak preman gini badan gue."

Aku tertawa renyah. "Yah, bagus lah kalo lo udah nggak kenapa-kenapa. Besok udah mulai sekolah, lho, kalo semisal lo belum tahu."

"Yoi, udah dikasih tau tadi sama Felli." sahutnya sambil manggut-manggut. "Ya udah, bro. Gue ke kamar dulu, mau mergokin Benny lagi ngebokep kayak biasa."

Aku kembali tertawa renyah lalu melambaikan tangan sebelum pergi ke kamarku.

Rasanya menyenangkan melihat teman-temanku sudah kembali seperti semula. Apalagi menyadari bahwa Rey tidak mengalami trauma karena kejadian tersebut, rasanya sangat melegakan. Tidak kusangka cowok yang biasanya sering menasihatiku agar tidak ikut-ikutan Benny dan Willy untuk nongkrong bareng dengan preman di dekat sini ternyata kuat juga. Padahal, aku sempat khawatir bahwa ia mungkin akan jadi depresi dan tidak banyak bicara—seperti beberapa korban sebelumnya.

Baguslah kalau ia baik-baik saja. Sekarang, aku bisa mandi dengan tenang.

"Gila, sih, gue nggak nyangka." suara pria membuatku berhenti menyiramkan air ke tubuh. "Pak Stenley ternyata anak pejabat tajir. Pantesan aja, dia berani bangun panti asuhan sama sekolah elit kayak gini."

[COMPLETED] Fall of the Last FortressWhere stories live. Discover now