36. Joshua

20 9 0
                                    

Master of deception, katanya. Saat ini, sih, aku master of confusion.

Setelah diskusi singkat di kamar Bryan, kami semua bubar ke kamar masing-masing untuk berganti pakaian. Sohibku itu sudah kelihatan bersemangat sekali, beberapa kali bergerak-gerak tidak sabar di tempatnya duduk. Padahal, aku tidak tahu apakah misi kali ini akan membuahkan hasil, mengingat kami tidak punya kepastian mengenai keberadaan orang berkepala pelontos itu di Pasar Nangka Dua, dan apakah ia bahkan benar-benar anggota The Hawks.

Aku memilih untuk mengenakan pakaian paling dewasa sekaligus tidak mencolok yang kupunya, yang berarti mengeluarkan satu-satunya celana jins di lemariku, memadukannya dengan kaos hitam polos yang baru kudapat beberapa bulan yang lalu dari tumpukan baju-baju sumbangan. Yah, kedengarannya tidak bagus-bagus amat. Tetapi, sebagai anak panti asuhan, pakaian ini sudah tergolong sangat rapi. Tak lupa, aku mengenakan jaket dan menyahut kamera dari atas meja—Omong-omong, kameraku bentuknya sudah tidak karuan sekarang, dipenuhi goresan mengenaskan di mana-mana, tetapi aku tidak punya waktu untuk meratapi tragedi itu, karena toh, barang berumur dua tahun itu masih bekerja, dan itu yang terpenting saat ini.

Kami berkumpul lagi untuk briefing singkat di dekat gerbang depan asrama, kemudian taksi pun meluncur ke Pasar Nangka Dua, yang jaraknya kurang-lebih hanya lima kilometer dari panti. Saat tiba di sana, kondisi pasar pakaian bekas itu cukup sepi. Di sana-sini, tampak beragam kios dengan pakaian lecek berjejalan di gantungan-gantungan sempit yang jelas tidak didesain untuk menampung sebanyak itu pakaian. Para penjual bertampang masam duduk malas-malasan di baliknya, beberapa tampak mengobrol dengan sesama pekerja, dan beberapa malah mejeng di kios lain untuk menggosip, meninggalkan barang dagangan mereka tidak dijaga. Tetapi, selain dari itu, tidak banyak orang berlalu-lalang. Bukannya mengejutkan, sih, sebab ini baru pukul empat sore. Malah, kalau pasar ramai di jam-jam segini, aku seharusnya curiga. Tetapi, tetap saja...

"Kalo sepi gini, emang transaksi jalan, ya?" tanyaku. "Katanya mereka cari tempat rame."

"Bodo amat, udah sampe sini," Andrew membalas acuh, walaupun raut mukanya menunjukkan sebaliknya. "Malah sepi gini jadi lebih gampang nyarinya, nggak riweuh."

"Lo beneran udah nggak bisa nge-hack HP orangnya sekarang?" Gwen bertanya. "Jadi, kita buta di sini?"

"Iya, nggak bisa," Andrew menjawab. "Tapi, kalian inget mukanya, kan? Trus, harusnya dia punya tato juga, tato burung elang sebagai ciri khas anggota The Hawks."

"Ya udah, biar cepet, gue bagi tugas sekarang," Bryan mengambil alih. "Gue sama Alice ke arah kiri. Gwen, Andrew, Sam, lurus ke depan, Joshua sama Rosaline ke kanan."

"Oke," Rosa langsung menyahut mantap sambil menghampiriku.

Kami pun bersiap untuk berpencar sesuai arahan Bryan, tetapi belum sempat berjalan barang satu langkah pun, Andrew sudah berbalik dengan wajah pucat, membuat semua orang bingung.

"Eh, eh, eh," bisiknya dengan nada mendesak. "Arah jam tujuh gue. Buruan liat, deh."

"Lo mau ngasih tahu jam apa arah, sih, Ndrew?" sahut Sam tidak nyambung seperti biasanya.

Aku buru-buru mengalihkan pandangan pada arah yang disebutnya. Kalau saja mataku kurang awas sedikit, aku pasti melewatkan orang yang dimaksud Andrew. Orang itu berdiri di depan sebuah kios yang letaknya agak tertutup kios lain. Tubuhnya tinggi kekar dan kepalanya gundul pelontos. Ia mengenakan kacamata full frame, yang mengingatkanku akan kacamataku sendiri, hanya saja versi lebih kerennya, dan setengah wajahnya ditutupi masker medis seperti orang yang sedang sakit flu. Kalau orang itu lebih kekar dan kulitnya lebih putih sedikit, ia pasti sudah sering dicegat cewek-cewek di jalan lantaran dikira Vin Diesel yang sedang berlibur.

[COMPLETED] Fall of the Last FortressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang