37. Rosaline

24 8 0
                                    

Semua gara-gara Sam.

Kalau saja ia tidak terus-terusan mengejekku seperti yang ia lakukan saat aku mencalonkan diri menemani Joshua di Grup A, aku pasti sudah bersama dengannya sekarang. Gara-gara anak itu, aku malah harus berjalan jauh sambil mengamati si Bapak Botak tanpa Joshua. Sedangkan, Joshua dan Gwen saat ini pasti sedang duduk manis di bawah pohon sambil makan es krim berdua. Meskipun malam kemarin Joshua bilang tidak menyukai siapapun, bisa saja dia bohong, kan? Lagipula kenapa nama Gwen ada di papan kelemahannya jika mereka tidak ada hubungan apapun?

"Mang, ikutin mobil depan, ya." kata Bryan sambil menunjuk mobil panther hitam milik target. "Tapi jangan terlalu deket juga biar dia nggak sadar."

Dia juga salah satu oknum yang paling menyebalkan di tim. Memang, sih, otaknya encer sekali, tapi yang ia pikirkan cuma dirinya sendiri, rencana, dan Alice. Seandainya ia diam saja dan membiarkanku masuk Grup A, pasti aku sudah bisa menghabiskan banyak waktu bersama Joshua di luar panti asuhan. Padahal kan, kesempatan seperti ini tidak akan datang berkali-kali!

"Siap." kata Pak Sopir sambil mengacungkan jempolnya.

Suasana sempat hening sejenak sebelum Pak Sopir membuka kembali pembicaraan, "Lagi mata-matain siapa ini Dek?"

"Oh, ini Kang, bokap lagi jalan sama selingkuhannya, mau nangkep." sembur Andrew ngaco.

"Widih... Ini anaknya semua?" tanya Pak Sopir semakin kepo.

"Bukan, Kang." sahut Andrew. "Yang di depan itu Kang anaknya, kita cuma temen-temennya aja, biasa; ngeramein doang."

Aku menahan tawa mendengar penjelasan Andrew barusan. Dari spion terlihat Bryan sedang mengatupkan rahangnya kuat-kuat menahan marah.

"Astaga, suami-suami zaman sekarang memang nggak ada yang bener. Coba aja ada yang mau sama saya. Nggak bakal, deh, saya selingkuhin." sahut Pak Sopir membuatku semakin ingin tertawa sambil menoleh ke arah Bryan. "Semoga ketangkep ya, Dek."

Yang ditoleh hanya bisa memaksakan seulas senyuman kecut sambil menyahut, "Iya, Pak. Jangan sampai ketinggalan ya, Pak."

Mobil itu membawa kami ke Stasiun Jakarta. Benar yang dikatakan oleh Andrew, anggota The Hawks seringkali bertransaksi di tempat publik. Cerdik sekali, mereka. Selain itu, mereka juga memilih spot ramai seperti salah satu kedai di stasiun ini. Baju dan koper yang digunakan untuk bertransaksi tampak biasa saja dan tidak menarik perhatian, seakan mereka hanya saling bertukar koper yang tertukar. Seandainya kami tidak tahu soal organisasi ilegal dan tato itu, mungkin kami tidak akan pernah sadar bahwa Bapak Botak itu sedang bertransaksi barang ilegal sekarang.

Kami memutuskan untuk parkir di depan pintu masuk—sedikit jauh dari kedai Bapak Botak bertransaksi, tapi kami tetap bisa melihat mereka dari luar etalase. Kami tidak bisa mengambil risiko karena terlalu dekat dengan target dan kembali mendaftarkan diri menjadi buronan orang lain.

"Yang mana sih, orangnya?" tanya Pak Sopir sambil ikut mengamati.

"Itu tu tu Pak, mau masuk kereta." umum Bryan pura-pura panik sambil memberikan bayaran taksi dan turun dari mobil. "Saya pergi dulu Pak, makasih."

Kami hanya bisa mengikuti langkahnya sambil bertanya-tanya. Begitu sudah berada di jarak yang cukup jauh dari taksi dan dari target kami, Alice yang pertama kali membuka suara, "Kok turun, Bry? Bukannya bahaya kalo kita keliatan di tempat terbuka gini lagi ngamatin mereka?"

"Iya, sih. Makanya jangan lo liatin terus." katanya sambil menutup mata Sam yang masih melekat pada sosok kekar di balik tembok. "Bapak tadi kepo banget, takutnya dia ikut campur macem-macem malah kita jadi ketauan."

[COMPLETED] Fall of the Last FortressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang