55. Bryan

28 10 0
                                    

"—yan? Bryan?"

Aku tersentak dari lamunan seketika. Lagi-lagi, pikiranku melayang ke awang-awang.

Aku mengalihkan tatapan pada Pak Owen yang sedang duduk di seberangku, menatap wajahku dengan ekspresi khawatir. Saat ini, kami sedang duduk di kursi paling pojok sebuah restoran ayam goreng dekat sekolah. Satu jam yang lalu, Pak Owen menawarkan diri untuk menjemputku kemari. Aku tidak tahu apa yang mau dibicarakan beliau, tetapi kami sudah menghabiskan nyaris setengah jam hanya menunggu diriku menyeruput es teh sambil bengong.

"Eh, iya, sori, Pak," aku meminta maaf. "Jadi... Bapak mau ngobrolin apa? Ada penemuan baru?"

Pak Owen diam sejenak. "Iya," jawab beliau. "Tapi, kamu nggak apa-apa? Sedang ada masalah, ya?"

Aku mendesah panjang. Tentu saja, tidak bijak bagiku untuk menceritakan soal keterlibatan Andrew pada beliau, mengingat sebesar apa pun kepercayaan kami pada beliau dan sebaliknya, tetap saja orang di hadapanku ini adalah anggota kepolisian. Beliau tidak mungkin membiarkan anggota tim kriminal kabur tanpa pencarian, terlebih saat orang itu bisa mengungkap nama-nama anggota lainnya yang selama ini menjadi target kami.

"Iya, sih, Pak," jawabku pada akhirnya. "Konflik internal IMS."

"IMS?"

"Eh, IMS itu... nama kelompok yang iseng kami buat." Aku menundukkan wajah secara insting, mendadak sedikit malu lantaran kami pasti terdengar seperti bocah-bocah sok detektif di hadapan aparat resmi seperti beliau. "Intinya..." aku menyambung supaya topik pembicaraan teralih. "Sekarang, mending kalau ada apa-apa, kalau Bapak nggak keberatan... ngobrolnya lewat saya dulu saja? Bukannya apa-apa, tapi... hubungan di dalam grup kami lagi nggak baik, Pak. Bahkan, Andrew sampai kabur dari panti dan sekarang nggak tahu entah di mana."

"Hah? Kabur dari panti?" Pak Owen menyahut syok. "Bukannya itu bahaya? Saya, kan, sudah tegaskan, kalian jangan bergerak ke mana-mana dulu karena kalian itu diincar. Sekesal apa pun kalian dengan satu sama lain, masa kalian tega kalau seandainya salah satu dari kalian ditangkap oleh... mereka?"

Tanpa perlu berpikir pun, tentu jawabannya adalah tidak. Masalahnya, bagaimana kalau salah satu dari kami itu juga salah satu dari mereka? Yang itu, aku tidak bisa menjawab. "Tenang, Pak," aku berkata. "Dia orangnya nggak seceroboh itu, kok. Dan lagi, ini juga bukan kejadian sekali-dua kali. Kalau udah terlalu lama dia nggak kembali, nanti saya kabari Bapak."

"Bryan, saya kira kamu paham," balas Pak Owen, terdengar semakin panik. "Situasi ini nggak sama seperti biasanya. Kamu, kan, pasti ingat papan yang difoto Joshua itu, yang berisi foto-foto kalian. Papan seperti itu, tandanya apa?"

Aku terdiam. Betul juga.

Papan itu. Kenapa foto dan kelemahan Andrew ada di sana kalau dia salah satu dari mereka? Bukankah siapa pun yang menulis itu seharusnya tidak berusaha untuk menutupi apa pun dari kami karena tidak mungkin menduga bahwa kami akan menemukannya? Bahkan nama Catherine pun tidak dicantumkan di papan itu. Kalau benar begitu... apa yang dikatakan Andrew kemarin jujur, dan dia juga saat ini sedang diincar oleh anggota kelompoknya sendiri?

"Kami diincar, Pak," jawabku.

"Nah, tepat itu maksud saya," Pak Owen membenarkan. "Jadi, kali ini, kita cari dia, ya? Saya akan laporkan ke tim kepolisian untuk—"

"Pak," selaku. Pak Owen berhenti berbicara dan menatap mataku, masih dengan raut wajah dipenuhi ketegangan. Aku menghela napas panjang. "Sejauh apa saya bisa percaya Bapak?"

"Maksudnya?"

"Kalau misalnya saya ceritakan sesuatu dan minta Bapak menyimpan rahasia, segenting apa pun situasinya dan sefatal apa pun akibat yang mungkin harus ditanggung dari merahasiakan itu dari kepolisian, apa Bapak sanggup?" tanyaku. Tanganku meremas pegangan gelas es teh di hadapanku dengan resah.

[COMPLETED] Fall of the Last FortressWhere stories live. Discover now