67. Martin

27 8 0
                                    


"Ya," ujarku. "Ya, akan saya bayarkan segera. Kali ini, saya janji."

Aku menjauhkan telepon dari telinga saat suara teriakan yang sudah kuprediksi mulai terdengar di seberang. Sambil menghela napas panjang, kuputus sambungan telepon.

Tidak apa-apa.

Seharusnya, besok aku bisa membayar tagihan itu.

Aku melirik kalender di atas meja kerja sambil mengetuk-ngetukkan jari dengan gelisah. Hari ini sudah hari Senin. Tandanya, besok adalah hari sidang. Jika sidang itu berjalan lancar, pembayaranku akan cair. Semoga, besok malam, uang itu sudah sampai ke rekeningku. Kalau tidak, entah apa yang akan rentenir itu lakukan terhadapku. Sudah cukup minggu lalu ia membuat keributan di depan rumah, sampai aku harus menanggung malu di hadapan para tetangga. Kalau sampai dua hari ke depan, aku belum juga bisa membayar tagihannya, mungkin tidak hanya harga diriku lagi yang dipertaruhkan.

Kalau bukan gara-gara masalah ini, aku tidak bakalan melanjutkan peranku sampai sedalam ini dalam rencana Panji. Sejak dulu, aku sudah tahu pria itu busuk. Tapi, situasi memojokkanku. Di saat seperti ini, kalau aku bermain bersih, aku sendiri yang akan mati. Semakin lama, aku semakin paham istilah 'memakan atau dimakan'. Pada akhirnya, tidak ada dari kita yang bisa lepas dari jeratan situasi.

Telepon di atas meja tiba-tiba berdering nyaring.

Aku menghela napas panjang dan mengangkat panggilan. "Halo?"

"Pak Martin, Anda dibutuhkan segera. Ada situasi darurat di belakang gedung kepolisian. Saya sudah hubungi Pak Yohanes, beliau akan menyusul. Tapi, kami butuh Anda datang lebih dulu." Suara di seberang telepon terdengar tergesa-gesa. "Segera, Pak."

"Tunggu. Bisa tolong jelaskan situasinya—"

Tut... tut... tut...

Sambungan telepon terputus. Aku membanting telepon keras-keras.

Bajingan.

Zaman sekarang, orang-orang memang tidak mengenal respek. Seenaknya saja memerintahku tanpa bahkan menyebut identitasnya. Walaupun yang bisa menghubungi telepon itu hanya sesama anggota kepolisian, aku tetap harus tahu siapa yang menelepon dan seenaknya memberiku perintah, kan? Yohanes itu juga. Buat apa dia ditugaskan di sini kalau setiap ada situasi darurat, selalu harus aku yang turun tangan?

Sambil mendumel, aku berdiri dan merapikan barang-barangku sebelum keluar dari ruangan. Aku menuruni tangga hingga ke lantai dasar, masih dengan perasaan kesal. Langkahku berderap cepat, keluar dari gedung kepolisian, menuju bagian belakang gedung.

Panas matahari jam dua siang menyengat kulitku saat aku mulai mendekat ke lokasi yang dimaksud. Dari sini, tidak nampak tanda-tanda adanya situasi darurat yang memerlukan penanganan segera. Tidak ada suara keributan, tidak ada pemandangan janggal. Sebenarnya, situasi darurat semacam apa yang dia maksud?

Saat akhirnya tiba di belakang gedung, aku memutar pandangan.

Bajingan. Benar-benar tidak ada apa-apa. Sejauh mata memandang, bahkan pepohonan rindang di sekitarku pun tidak bergerak saking tenangnya keadaan sekitar.

Apa aku dibodohi? Memangnya, mereka pikir waktuku bisa dibuang-buang begitu saja?

Aku meraih ponsel, berniat menghubungi Yohanes. Tetapi, yang terjadi setelahnya benar-benar di luar dugaanku.

Dalam sepersekian detik saja, aku merasakan tangan yang kuat menahan tubuhku dari belakang. Gerak refleksku yang sudah terlatih membuat tanganku otomatis mengeluarkan pistol yang selalu kukantongi. Namun, entah karena otakku masih belum sepenuhnya memproses apa yang terjadi atau orang yang menahan tubuhku sudah memprediksi apa yang akan kulakukan, ia berhasil menggagalkan usahaku dengan membekap mulutku dengan saputangan.

[COMPLETED] Fall of the Last FortressWhere stories live. Discover now