93. Gwen

34 6 0
                                    

Rumah dua tingkat bergaya industrial itu berdiri tegak di pinggir kota Jakarta yang sepi. Beberapa belas tahun yang lalu, rumah itu masih tampak kokoh dan mewah, dengan dinding batu bata yang ditumbuhi tanaman hias menjalar di sisi depan dan teras nyaman tempat pemiliknya kerap keluar di pagi hari untuk menyiram tanaman. Warna hitam cat di bingkai jendela-jendela besar yang menghadap halaman juga masih mengkilat cantik. Namun, sekarang, semua itu tinggal kenangan. Lumut, rerumputan tinggi, pohon-pohon liar... alam seakan memakan rumah itu dan segala keindahannya, menggerogotinya pelan-pelan hingga lebih membaur dengan kegelapan daripada terang.

Aku mengamati sosok kecil pria di balik jendela yang sedang duduk di ruang tamu yang remang. Rambut putih, kerut wajah, kacamata... Banyak sekali perubahan yang seharusnya membuatku tidak mengenali sosoknya. Namun, aku tetap mengenalinya. Pria yang kupanggil Ayah, yang membuat masa kecilku terasa seperti neraka. Pria yang sama yang membuat keputusan untuk melepaskanku, hingga pada akhirnya aku menemukan ketenangan, tempat yang lebih baik, dan teman-teman yang kusayangi.

"Istri barunya meninggal tahun lalu. Jadi, sekarang dia sendirian lagi."

Aku tersentak mendengar suara yang tiba-tiba muncul dari sampingku. Menoleh, aku mendapati Stenley sedang berdiri dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku. Tatapannya lurus, memandang ke arah yang sama denganku beberapa saat yang lalu.

Aku menarik topi yang kukenakan, membawa bayangannya semakin menutupi wajahku. "Oh, gitu," gumamku.

"Kamu nggak mau masuk?"

Aku menggeleng mantap. "Aku cuma mampir sebentar."

Keheningan menyusup di antara kami berdua. Satu-satunya bunyi yang mengisi ruang adalah bunyi gemerisik dedaunan yang tertiup angin. Hawa dingin terasa menggigit tulang. Aku merapatkan jaket sambil menghela napas panjang.

"Kapan Bapak mulai kerja lagi?" tanyaku pada Stenley.

Kumis Stenley yang sudah mulai beruban bergerak-gerak karena ujung bibirnya berkedut. "Minggu depan."

"Minggu depan..." gumamku. "Minggu depan, Joseph akan dieksekusi."

Stenley mengangguk berat. "Iya." Dahi Stenley berkerut, seperti sedang menanggung banyak pikiran. Mungkin memang begitu adanya. "Saya kira saya akan senang setelah semua ini berakhir, dan pelaku asli di balik semua ini tertangkap. Tapi..." Ia mendesah berat. "Saya salah. Rasanya malah sedih."

"Sedih?"

Stenley menoleh, menatapku. Tatapan matanya yang nanar hampir membuatku turut merasakan kesedihannya. "Dulu ayahmu yang mendukung saya untuk menyanggupi permintaan orang tua saya, untuk mengepalai Panti Asuhan Bakti Mulia yang waktu itu baru dibangun," Stenley memulai ceritanya. "Saya dan ayah kamu dulunya teman dekat, waktu SMA. Waktu itu, saya ragu karena merasa nggak memiliki kemampuan untuk menghadapi anak kecil. Saya juga nggak memiliki empati yang cukup kuat untuk peduli pada anak-anak yatim-piatu. Tapi, dia bilang, saya pasti bisa.

"Akhirnya, saya menyanggupi permintaan itu. Di tahun-tahun pertama berdirinya Bakti Mulia, saya benar-benar nggak banyak andil. Saya menyerahkan semuanya kepada orang kepercayaan dan malah sibuk sendiri bersenang-senang di luar. Saya benar-benar nggak tahu siapa-siapa saja anak yang tinggal di panti asuhan. Saya pikir, segalanya bisa dibeli dengan uang. Asal menyediakan fasilitas yang mewah, anak-anak itu akan senang, sama seperti saya waktu kecil dulu. Jadi, saya nggak perlu terlalu peduli terhadap mereka.

"Lalu, Joseph datang. Dan..." Pandangan Stenley dibuang ke bawah selagi kepalanya menunduk dalam-dalam. Sepertinya, ini bukan hal yang mudah untuk ia bicarakan. Namun, ia tetap melanjutkan, "Joseph sedikit-banyak mengubah pandangan saya. Dengan usia yang lebih muda daripada saya, dia bisa memiliki rasa tanggung jawab yang luar biasa besar. Padahal, saat itu, dia cuma bekerja di bidang administrasi panti, tapi setiap hari, dia berkeliling panti, memerhatikan setiap kegiatan dan anak-anak yang ada di sana, dan beberapa kali membawa anak-anak yang malang masuk ke dalam panti.

[COMPLETED] Fall of the Last FortressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang