27. Alice

18 9 0
                                    

Kedua oknum bertopeng yang menyerang kami di rumah tadi belum juga tertangkap sampai sekarang, walaupun polisi sudah berhasil menemukan dan menutup akses kabur mereka, yang katanya merupakan sebuah pintu tersembunyi yang mengarah ke bawah tanah dan berhubungan langsung dengan area di luar pagar belakang rumah.

Bryan dan Joshua kini sudah berada dalam perawatan UGD setelah paramedis datang dan buru-buru membawa kami ke rumah sakit. Joshua mengalami luka-luka ringan dan hidungnya juga patah. Namun, yang paling mengganggu pikiranku adalah Bryan, yang harus menjalani operasi mengerikan lantaran peluru yang mengenainya ternyata masih berada di dalam daging lengannya.

Lagi-lagi, ia terluka karena melindungiku.

Entah sudah berapa kali aku membuat cowok itu terluka hanya karena berusaha melindungiku yang lemah dan tidak bisa apa-apa. Aku terlalu egois dan memaksakan diri untuk ikut dalam penyelidikan demi melihat Catherine, padahal sebenarnya aku bisa saja menunggu di panti asuhan. Lagipula, benar kata Andrew, kemungkinan Topeng Putih masih tinggal di panti asuhan yang dijaga polisi sangat kecil.

Bagaimana kalau Bryan nggak bangun lagi setelah ini?

Apalagi, tadi, ia sempat pingsan setelah Joshua melemparkan jaketnya padaku untuk membebat lukanya. Operasi itu mengerikan nggak, sih? Bukannya ada banyak orang yang meninggal karena gagal operasi, ya?

Tanpa sadar, air mata turun membasahi pipiku.

Tidak. Aku tidak boleh menangis lagi di depan orang-orang dan membuat keadaan semakin rumit. Saat ini Andrew sedang sibuk mengutak-atik laptop Kak Benny yang belakangan ini selalu ia bawa dalam ranselnya, entah untuk apa, namun sepertinya ia sedang melakukan sesuatu yang serius. Rosaline nggak ada di sini karena bersikeras menemani Joshua di dalam. Sam, walaupun kelihatannya cuma sedang bengong, sepertinya bakal sadar juga kalau aku tiba-tiba sesenggukan. Mungkin sebaiknya aku mengikuti Gwen dan menenangkan diri sendirian di luar rumah sakit.

Aku berdiri dan melangkahkan kaki keluar dari rumah sakit.

Di bangku taman, tampak Gwen yang tengah duduk sendirian sambil memejamkan matanya. Kulitnya pucat pasi, dan tangannya yang gemetaran diletakkan di atas wajahnya yang mendongak. Melihat pemandangan itu membuatku langsung teringat pada daftar kelemahannya yang sempat terbaca olehku: suara keras, suasana menegangkan, punya PTSD.

Aku tidak begitu paham apa itu PTSD, tapi suara keras dan suasana menegangkan sepertinya menjadi makanan sehari-hari kami sekarang. Hebat ya, dia bisa melawan kelemahan itu demi menyingkap kebenaran Topeng Putih. Tapi sepertinya sekarang ia tampak tidak baik-baik saja. Jadi, aku memutuskan untuk menghampirinya, dan menyapanya.

Begitu melihatku mendekat, ia buru-buru mengalihkan pandangan dan bersiap untuk pergi.

"Eh, nggak usah," aku buru-buru berkata. "G-gue aja yang pergi, kalo lo nggak nyaman gue ada di sini."

Gwen menatapku aneh sesaat, lalu bertanya. "Emang lo kenapa keluar ke sini?"

"Nggak apa-apa, err... gue cuma merasa lo butuh ditemenin aja, sih, saat ini." sahutku tidak berani melihat matanya yang mengintimidasi.

"Gue lagi butuh waktu sendiri, malah. Tapi, ya—"

"Oke, deh." sahutku buru-buru berbalik dan melangkah pergi. Belum ada lima langkah aku berjalan kembali ke rumah sakit, cewek itu kembali bersuara.

"Lo nggak suka dengerin orang ngomong sampe selesai, ya?" katanya, membuat langkahku berhenti dan aku kembali menghadapnya. "Padahal, gue baru mau bilang tadi, gue butuh waktu sendiri, tapi mungkin ada temen cerita juga not bad, dan lo kayaknya bisa jadi temen curhat yang harmless."

[COMPLETED] Fall of the Last FortressWhere stories live. Discover now