4. Andrew

37 9 0
                                    

Kantor polisi terasa sangat mencekam bagiku.

Bapak-bapak berseragam yang lalu lalang ke sana kemari dengan tampang yang sangat tidak ramah, suara gaduh yang ditimbulkan oleh beberapa percakapan antara polisi dan pelapor kejahatan-belum lagi, ketika kami menginjakkan kaki di kantor polisi, sedang ada seorang ibu-ibu yang ngotot karena STNK dan SIM-nya mau disita.

Benar-benar kacau.

Untung saja, sekarang kami sudah berada dalam perjalanan kembali dari kantor polisi. Sepertinya, pergi ke kantor polisi tidak hanya menguras tenagaku, tapi seluruh anak panti yang ikut ke sana. Buktinya, sejak tadi mereka diam saja. Bahkan, Alice, yang biasanya selalu berusaha membuka percakapan saat suasana mendadak hening, hanya menatap kosong ke arah jalan yang kami lewati.

Tapi, sepertinya sejak sebelum berangkat ke kantor polisi ia memang sudah begitu, sih.

Mungkin masalah Catherine benar-benar mengejutkannya. Aku cukup kasihan dengan Alice, sih. Mengetahui bahwa sahabatmu pernah dengan sengaja ingin membunuh orang lain bukan hal yang enteng. Rasanya benar-benar menyebalkan. Ingin membela, namun kenyataannya tidak bisa.

Begitu taksi berhenti tepat di depan panti asuhan berbarengan dengan mobil polisi yang ditumpangi Rosaline, Gwen, dan Luke, kami segera turun. Ternyata sebelum meninggalkan kantor polisi, Pak Joseph sudah memesankan taksi untuk kami pulang. Sepertinya, ia benar-benar kebalikan dari Pak Stenley yang tidak memikirkan muridnya sama sekali.

"Kita jenguk Sam sekarang, yuk?" ajak Alice, sepertinya sejak tadi mengkhawatirkan bocah yang biasanya selalu meramaikan suasana grup ini dengan banyolan konyolnya.

"Boleh, sih." sahutku dan Bryan berbarengan.

Kami sempat bertukar pandang selama beberapa detik sebelum aku menoleh dengan canggung. Semenjak kami ngobrol soal sudah menganggap masing-masing sebagai teman, rasanya benar-benar geli bercampur menjijikan. Apalagi, dia secara terang-terangan memerbolehkanku mendekati gadis pujaannya, yang kebetulan kini jadi seseorang yang juga berarti bagiku. Entah kenapa ada secuil bagian dariku yang menyesali perbincangan saat itu.

Tapi bukannya aku tidak mau berteman dengan anak itu, sih.

Aku tulus mau berteman, kok. Cuma geli saja saat mengingat perbincangan saat itu.

"Sam?" panggil Alice penuh kekhawatiran sambil mengetuk pelan pintu kayu yang ditempeli kertas bertuliskan 'do not disturp' di depannya.

Pasti kertas itu ulah Sam. Akhir-akhir ini, anak itu memang suka menggunakan bahasa Inggris, padahal nilai Bahasa Inggrisnya saja jeblok. 'Disturb' saja ditulis menjadi 'Disturp'. Seandainya saja ia tidak sedang dalam fase menyendiri, pasti aku sudah mengejek kemampuan sok Inggrisnya itu.

"Sam, lo di dalem?" tanya Alice, kali ini menggedor pintu lebih kuat.

Namun, tetap tidak ada jawaban.

"Gimana, nih? Jangan-jangan dia kenapa-kenapa? Apa gue coba buka aja, ya? Kan, kamarnya nggak bisa dikunci kan?" tanya Alice setengah panik.

"Iya, sih. Kalo Sam kayaknya nggak apa-apa, deh, dibuka?" timpalku setengah berbisik, berharap bocah itu tidak mendengar kalimatku supaya tidak tambah merasa sedih, bocah itu kan paling sensitif di antara kami semua. "Toh, kalo dia ngamuk, dia bisa apa?"

"Jangan, deh. Meskipun itu Sam, kayaknya kita butuh ngehormatin privasinya, deh. Waktu lo ngurung diri, nggak ada yang ngebuka kamar lo secara semena-mena, padahal juga nggak ada kuncinya, kan?" sanggah Joshua.

"Iya, sih." sahutku sambil menghela napas. "Tapi, lo kan tahu pasti gue nggak mungkin..." Aku mengacungkan telunjukku dan membuat gerakan seperti mengiris leher.

[COMPLETED] Fall of the Last FortressWhere stories live. Discover now