87. Joshua

26 3 0
                                    


Firasatku buruk.

Aku tidak tahu teman-temanku ada di mana. Entah sudah berapa lama aku berada di dalam sini, berduaan dengan keroco Panji yang kekar, yang sepertinya sudah berolahraga dengan giat seumur hidupnya demi bisa menahan tangannya mengacungkan pistol ke kepalaku selama berjam-jam.

Aku nggak bercanda. Pria bermasker gas ini tidak sedetik pun menyingkirkan pistolnya dariku, dan tangannya bahkan tidak bergetar sama sekali. Aku sampai bertanya-tanya apakah ini bagian dari latihan Panji, atau dia sebenarnya robot yang agak kelewat realistis.

"Hei," panggilku lirih. Orang itu bergeming. "Gue kebelet."

"Pipis aja di sini," sahutnya. Aneh rasanya melihat patung yang sejak sekitar setengah jam yang lalu berdiri di hadapanmu tanpa mengeluarkan suara, tiba-tiba bicara. "Jangan harap dilepas ikatannya, apalagi bisa ke toilet."

"Siapa bilang gue kebelet pipis?" balasku. "Gue kebelet boker. Dan by the way, perasaan gue nggak enak. Kayaknya, ini bukan boker biasa."

"Jangan alesan," katanya sinis. "Belum juga sejam, udah kebelet boker."

"Itu, kan, sejak dibawa ke sini," aku membalas dengan suara yang semakin lama semakin terdengar ngeden. "Gue belum boker seharian sejak pagi, dan sekarang gara-gara lo ngacungin pistol ke kepala gue, gue jadi mules. Kalo stres atau gugup, biasanya gue mules, dan... seperti yang gue bilang, perut gue suka berulah, jadi perasaan gue nggak enak banget sekarang."

"Pinter ngarang cerita, ya," cibirnya, masih menolak untuk percaya. "Diem. Jangan ngeluarin suara lagi. Kalo berisik, gue tarik nih pelatuknya."

Kepalaku jatuh tertunduk. Napasku semakin lama semakin cepat, tapi otakku berputar lebih cepat lagi. Aku menunggu beberapa menit, kemudian dengan mulutku, aku menciptakan suara seperti suara kentut.

"Aah! Aduh..." rintihku lemas. "Please. Perut gue sakit banget..."

Orang itu sedikit membuang muka dengan tidak nyaman di tempatnya berdiri. Yes, itu tandanya dia sebenarnya terganggu dengan hal-hal jorok seperti ini. Aku terus menatapnya dengan sorot mata paling memelas yang bisa kutampakkan. Jujur saja, ini pertama kalinya aku harus berakting seperti ini, dan aku benar-benar gugup ia bisa mengendus kebohonganku.

Aku lagi-lagi menunduk dan mengeluarkan suara kentut dari mulutku, kali ini sengaja kubuat lebih dahsyat. "Aduh...! Kayaknya... kayaknya udah keluar, deh," erangku. Aku melirik masker gas yang dipakai orang itu. Dengan masker seperti itu, ia pasti sudah nggak bisa membau apa-apa lagi. "Duh, maaf, ya, baunya... Ukh!"

Refleks, sebelah tangan orang itu yang bebas bergerak seperti hendak menutup hidung, tetapi dengan cepat diturunkan kembali karena menyadari bahwa ia sedang memakai masker gas.

"Ah, m-maaf... gue udah nggak bisa... tahan..."

Entah karena terlalu menghayati peran atau karena aku sebenarnya juga ketakutan setengah mati, air mataku mulai menetes. Aku melemparkan tatapan frustrasi pada orang di hadapanku, berharap ia akan kasihan, atau minimal jijik.

"Duh, perut gue! Aduh, baunya—"

"Cukup, cukup! Ke toilet, sana! Jorok." Dari suaranya, aku bisa mendengar bahwa ia menahan napas karena takut membau kotoran imajinatifku. Ia melanjutkan dengan nada kesal, "Tapi gue kawal. Awas kalo berani macem-macem."

Yes! Rencanaku berhasil juga.

Aku menonton saat pria itu mulai berlutut. Ia melepaskan ikatan di kakiku dengan sebelah tangan, sedangkan tangan yang satu lagi masih mengacungkan pistol ke kepalaku. Ia kelihatan sangat terlatih melakukan hal itu, sampai-sampai aku sedikit takjub. Tidak lama, kakiku sudah bebas, dan aku bisa berdiri.

[COMPLETED] Fall of the Last FortressWhere stories live. Discover now