23. Andrew

22 9 0
                                    

Beberapa waktu ini, diam-diam aku belajar cara melacak nomor telepon dari internet. Belum berhasil seratus persen, sih, tapi mungkin aku bisa mencobanya sekarang, pada nomor Catherine yang baru saja dibacakan oleh Bryan.

"Akan saya kabari secepatnya, saya tutup dulu, ya." sahut Pak Owen sambil terengah-engah, kuduga sedang berlarian ke divisi pelacakan.

"Trus, kita cuma nunggu nih?" tanyaku sambil menatap Bryan heran.

"Mau gimana lagi? Mending sekarang lo telepon yang lain, gih, suruh ngumpul. Biar sewaktu-waktu bisa berangkat langsung." kata Bryan, entah sejak kapan berani memerintahku.

"Telepon sendiri, gue sibuk. Mending gue cari tahu ini lokasinya di mana, keburu mereka udah nggak di lokasi kejadian kalo nunggu polisi bertindak, lama bener." kataku sambil berdecak frustrasi.

Detik selanjutnya, semua orang sibuk dengan kegiatan masing-masing. Aku dengan laptop pinjaman, Bryan dan Alice dengan ponsel mereka berusaha untuk mengumpulkan anggota tim kami satu per satu. Tidak sampai lima menit, semua orang sudah kembali berkumpul di dalam kamar Bryan.

"Catherine! Catherine gimana?" Sam adalah yang pertama kali datang sambil menjeblakkan pintu dengan heboh, membuat seluruh logika yang kususun rapi di otak langsung tercerai-berai.

"Berisik, bangsat! Ini lagi gue cari, jangan ganggu dulu." hardikku sambil mengacak rambutku dengan sebal.

Entah sudah berapa lama aku mengetik dan memelototi layar laptop Benny yang tidak kunjung menampilkan lokasi ponsel Catherine. Rasanya otakku sudah mau meledak dan aku ingin menyerah saja, tapi menyerah di saat seperti ini sepertinya bukan termasuk pilihan. Aku terus memutar otak dan berusaha menuliskan rangkaian algoritma dan perintah untuk bisa mengakses lokasi ponsel keparat itu, tapi semuanya sepertinya sia-si—

"KETEMU!" sahutku bangga sambil mengangkat laptop yang ada di pangkuanku. "Tapi lokasinya di daerah Barat—agak jauh dari sini. Kalo kita berangkat sekarang, pelakunya udah keburu kabur belum, ya?"

"Nggak apa-apa, ke sana dulu aja. Masalah pelakunya masih di sana atau nggak, seenggaknya kita punya sesuatu yang baru buat diselidiki. Siapa tahu ada bukti lain yang nggak sengaja ketinggalan." sahut Joshua.

"Tunggu, lo yakin nggak salah lokasi?" tanya Bryan ragu-ragu. "Kayaknya baru beberapa hari yang lalu, lo bilang nggak bisa ngelacak lokasi device."

"Iya, sih. Tapi gara-gara itu gue mulai belajar. Harusnya nggak salah, tapi jujur ini baru pertama kalinya gue berhasil setelah nyoba entah udah berapa ribu kali. Kemarin pas nyoba pernah salah, sih, gue ngelacak nomernya Benny malah ketemu di daerah Kalimantan." kataku sambil menukar pandang dengan Bryan.

"Hmm... Kalo ini salah juga gimana?" tanya Rosa, meragukan.

"Gue nggak berani jamin bener juga, tapi—"

"Oke, gue percaya sama lo." sahut Bryan tiba-tiba, membuatku spontan bergidik geli. "Daripada nunggu polisi, takutnya tambah lama lagi. Lagipula kalo nyasar dan nggak sesuai, anggep aja jalan-jalan, deh. Toh, nanti polisi pasti nemuin lokasinya dan pergi ke sana, soal bukti segala macem, mereka bakal bisa nemu lebih banyak dari kita, kan? Gue pesen taksinya."

"Bentar, bentar." Sam menengahi. "Duitnya siapa naik taksi?"

Aku sudah hampir menepuk jidat dan berseru, 'Oh iya, goblok!' karena baru ingat kalau kita semua seharusnya nggak punya duit, dan duit si sultan, Joshua, sebagian besar sudah kami poroti untuk membeli pisau lipat kualitas bagus dua minggu yang lalu. Tapi, di luar dugaan, tiga oknum menjawab bersamaan.

"Gue ada," kata Joshua, yang ternyata pundi-pundinya nggak habis-habis.

"Gue punya," kata Gwen.

[COMPLETED] Fall of the Last FortressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang