28. Sam

21 10 0
                                    

Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku bersyukur aku adalah orang yang kepo setengah mati.

Yah, sebenarnya kalau aku bisa berlari secepat Monster Andrew atau Joshua di rumah hantu tadi, mungkin aku nggak akan punya kesempatan untuk kepo karena bakal sibuk kejar-kejaran dengan Sarimin yang berpakaian kayak pendaki gunung itu, sih, alias Sarimin yang ternyata adalah... ah, sudahlah. Aku sudah membuat janji dengan diri sendiri untuk nggak memikirkannya dulu supaya nggak kelepasan nangis lagi kayak dulu. Aku cowok macho. Aku harus kelihatan tegar.

Oke, kembali ke topik. Untungnya, kepada orang yang nggak punya kaki setinggi egrang, Tuhan memang berlaku adil dengan cara mengimbanginya dengan ke-kepo-an dan keberuntungan kadang-kadang. Seperti tadi, saat aku menemukan harta karun berupa sebuah foto di sudut tersembunyi ruang keluarga hantu setelah mengikuti Monster Gwen.

Aku menatap foto berbingkai figura rusak di tanganku itu dengan galau.

Foto itu membuatku takut. Jujur saja, orang di dalamnya kelihatan kayak hantu sungguhan. Bukannya ia memiliki tatapan tajam ular kelaparan atau kulit pucat kuntilanak ala Monster Gwen atau apa, sih. Sebaliknya, ia justru cantik banget, dengan wajah mulus berseri-seri, senyum manis, dan mata kucing lebar yang teduh dan dalam. Selera berpakaiannya, walaupun norak abis, mungkin tergolong modis pada zamannya, soalnya aku sering melihat gaya kayak begitu di film-film kuno yang akhir-akhir ini kutonton. Biasanya, aku nggak pernah takut dengan cewek cantik (gila aja, apa yang ditakutkan dari dewi berwajah sempurna? Paling-paling takut ditolak, itu pun sebenarnya nggak perlu, soalnya kita, kan, nggak bakalan bisa ditolak kalau nggak menyatakan perasaan—begitu, sih, prinsipku. Masuk akal, kan?)

Masalahnya, wajah dan postur tubuh cewek cantik yang satu ini familier banget, tapi juga asing. Aku bakal terdengar gila, tapi aku nggak tahu ada wajah yang bisa kelihatan tua dan muda dalam waktu bersamaan sampai aku melihat foto itu.

Sebenarnya, setelah berpikir keras, aku akhirnya bisa menemukan penjelasan yang tepat, sih: Itu wajah Catherine kalau seorang pelukis berbakat disuruh melukis wajahnya cuma dari deskripsi, tanpa pernah melihat fotonya sama sekali. Rambut pirang, mata abu-abu, kulit putih, dan bibir merah yang kecil—semua itu Catherine banget, kan? Tapi, kalau dilihat secara keseluruhan, cewek itu tetap nggak persis Catherine. Itulah kenapa aku bilang ia seram banget: karena ia kelihatan kayak Catherine yang terbang ke masa lalu dan melakukan operasi plastik, lalu berpakaian ala cewek berambut oranye di film Scooby Doo itu—siapa namanya? Oh iya, Devi.

Ah, gimana, sih. Aku jadi pusing sendiri. Jangan-jangan, foto ini mengandung gendam, dan selagi bingung memikirkan keanehan cewek itu, aku sebenarnya sedang membunuhi teman-temanku kayak di film horor. Gawat. Aku nggak boleh memandanginya lama-lama.

Aku melirik Monster Andrew yang duduk di seberangku. Aman; dia masih hidup, walaupun matanya yang nggak lepas dari laptop itu lumayan mengkhawatirkan. Dia adalah orang pertama yang kuperlihatkan foto ini, karena dia satu-satunya yang ada di dalam ruangan saat aku menemukannya. Begitu melihat foto itu, mukanya langsung kelihatan kayak disambar petir. "Bentar. Gue kayaknya pernah lihat itu orang, deh," katanya.

"Soalnya mirip Catherine, kan?" tebakku.

"Hmm... Setelah lo ngomong, gue baru sadar dia mirip Catherine, tapi bukan. Gue kayaknya pernah lihat orang yang mukanya bener-bener persis kayak gini," katanya. Itu adalah kata-kata terakhir si Monster sebelum otaknya mulai korslet dan ia bengong menatap laptopnya sampai saat ini. Bahkan, di rumah tadi, ia berhenti mengejar Sarimin pendaki gunung dan malah duduk di pojok ruangan sampai polisi datang.

Kalau dipikir-pikir, apa dia juga sedang terkena efek gendam fotonya, ya?

Benar juga. Seram. Monster Gwen juga langsung keluar dari rumah sakit begitu melihat foto ini tadi. Sebenarnya benda sakti macam apa ini? Sihir gelap apa yang digunakan Sarimin kali ini?

[COMPLETED] Fall of the Last FortressWhere stories live. Discover now