78. Gwen

23 6 0
                                    

Tentu saja aku tidak benar-benar pingsan.

Sejak masih menghirup udara bebas di atas tadi, aku bisa merasakan bahwa sesuatu yang tidak beres tentu sedang terjadi di dalam rumah itu. Perasaan itu semakin kuat ketika aku, Joshua, dan para polisi menemukan gerobak bakso milik Sam di balik semak-semak. Rumah itu seperti menelan semua orang yang masuk ke dalamnya: Alice, Sam, Rosaline, kemudian Bryan.

Aku pasti sudah gila kalau mau menyerahkan diri menjadi yang selanjutnya.

Itulah mengapa aku dan Jo melakukan semua ini.

Aku masuk ke dalam rumah membawa sirene. Sendirian, tanpa senjata. Bryan masuk membawa senjata, tetapi nyatanya hal itu tidak membantu. Dugaan terkuatku adalah ia—mereka—ditawan. Hal paling dasar yang dilakukan penawan mana pun terhadap korban mereka adalah pelucutan senjata. Aku tidak mau diraba-raba oleh siapa pun, jadi kuganti pakaianku dengan kaos tipis dan celana legging yang tentunya tidak bersaku, lengkap dengan sandal jepit, sehingga orang bodoh pun tahu aku tidak bersenjata (kebetulan, perjalanan kami kemari melewati salah satu toko milik warga yang menjual pakaian sederhana itu, sehingga aku tinggal berjalan sebentar ke sana untuk membelinya dan kembali lagi).

Setelah tiba di ruang bawah tanah yang tentu saja hanyalah kedok, aku menemukan ruangan berisi penuh piala, yang sepertinya jarang disentuh. Di situlah aku meninggalkan sireneku. Tidak perlu khawatir, aku akan menemukannya lagi nanti.

Agak lama aku mencari ruangan yang benar, yang akan membawaku ke tempat teman-temanku berada. Namun, akhirnya aku menemukannya: sebuah ruangan dengan lukisan raksasa di salah satu sisinya, yang rupanya adalah pintu putar rahasia. Pintu itu mengarah pada sebuah rumah di bawah tanah, yang kondisinya berbeda seratus delapan puluh derajat dengan rumah di atasnya yang tampak tidak berpenghuni.

Kemudian, tentu saja, seseorang menyergapku dari belakang.

Namun, kunci dari rencana ini adalah, aku tidak boleh kehilangan kesadaran. Gesit dan ringan adalah salah satu kelebihanku, sehingga sebelum sempat aku dipukul, dibekap, disuntik, atau apa pun yang menjadi bagian dari rencana penyekapannya, aku membalikkan badan. Itu seorang pria tinggi kekar, kira-kira seratus delapan puluh sentimeter, dengan jubah hitam dan masker gas yang menutupi figur dan wajahnya. Di tangannya, selembar saputangan yang pasti sudah disemprot kloroform digenggam erat. Itu bukan Catherine, bukan juga Stalker. Jadi, sudah pasti ia adalah orang suruhan Panji yang kastanya lebih rendah daripada para anak buahnya.

Aku berteriak. Lalu, aku menjatuhkan diri, seolah-olah pingsan karena terkejut.

"Lah?" pria itu kebingungan. Lalu, derap kaki orang lain terdengar, diikuti suara pria lain yang lebih tinggi. "Kenapa?"

"Pingsan sendiri dia."

"Ya udah, bagus. Nggak usah buang-buang bius. Ayo iket dia. Sita dulu senjatanya."

"Kayaknya dia nggak bawa senjata. Bajunya nggak ada kantong."

"Alat perekam?"

"Hm..."

Aduh, aku lupa memikirkan soal alat perekam. Apakah baju ini sia-sia dan aku tetap akan diraba-raba?

"Nggak lah ya harusnya? Alat perekam palingan gede, kan? Gue males raba-raba yang ini. Kayak tripleks, nggak asyik."

Kedua pria itu lantas cekikikan. Aku tidak tahu harus merasa lega atau tersinggung. Tetapi, ini jelas lebih baik daripada diraba-raba. Sebuah pemikiran yang mengerikan hinggap di benakku. Apakah teman-temanku diraba oleh mereka?

Alice dan Rosaline... lebih berisi daripada aku. Tetapi, masa...?

Aku tidak suka memikirkannya.

Sesuai dugaan, tangan dan kakiku diikat. Aku diboyong masuk lebih jauh ke dalam rumah, lebih jauh lagi, lebih jauh lagi, hingga kami tiba ke bagian rumah yang lebih kumuh dan remang-remang. Rupanya, rubanah ini luasnya melebihi rumah di atas. Satu, dua, tiga rumah. Minimal, Panji memiliki tiga rumah yang tampak kosong di atas tadi.

[COMPLETED] Fall of the Last FortressWhere stories live. Discover now