69. Sam

31 7 0
                                    

Pasti kalian heran bagaimana aku bisa tiba-tiba bertransformasi menjadi aktor ganteng berbakat yang menjiwai peran tukang bakso barusan, sampai-sampai aku sendiri tertarik untuk menjadi tukang bakso sungguhan saking naturalnya aktingku. Sebenarnya, aku diberi tips oleh Joshua, yang sendirinya dapat peran jadi anggota geng preman keren (huh, setidaknya menjadi tukang bakso adalah pekerjaan halal!)

"Mending lo jadi diri sendiri," katanya. "Kalo lo terlalu fokus mikirin gimana tukang bakso pada umumnya, malah jadi kelihatan banget kalo lo akting. Anggep aja lo beneran tukang bakso. Seorang Sam bakal gimana kalo jadi tukang bakso? Lo mulai dari situ aja. Nggak usah overthinking."

"Tenang aja. Gue nggak akan overtingting," jawabku pede. "Toh, gue seneng bisa berguna buat rencana. Lewat peran ini, gue mau tunjukin ke Catherine sama Andrew kalo gue nggak bisa diremehin! Pokoknya, mereka bakal ketangkep."

Joshua mengangguk-angguk penuh pengertian. Aku hampir saja terharu melihat dukungannya padaku kalau saja ia tidak berkata dengan suara pelan, "Hm... overthinking, bego."

Sialan.

Ya sudah, sih. Tukang bakso, kan, nggak harus jago bahasa Inggris. Yang penting, pada akhirnya, aku bisa menjadi tukang bakso yang meyakinkan, dan malah dapat uang segala dari pembeli, walaupun aku nggak tahu uangnya boleh kusimpan atau nggak. (Aku harus menanyakannya, sih, nanti. Lumayan banget, mengingat aku masih punya utang satu juta dengan Iris si hantu CCTV yang kabarnya mau pensiun.)

Sekarang, setelah mendapat info dari para pembeli tukang gosip itu bahwa ada tiga orang tajir di perkampungan ini, aku, Alice, dan Rosaline berpencar ke rumah tiga orang itu. Rosaline, yang pede banget kalau aktingnya paling bagus di antara kami bertiga, langsung sok penting dan memilih tugas paling mulia, yaitu mendatangi rumah Pak RT. Alice kebagian menyambangi rumah warga lain yang aku lupa namanya, sedangkan aku kedapatan tugas ke rumah seseorang bernama Pak Wawan.

Sambil mendorong gerobak menuju alamat di kertas, aku berpikir keras. Sebenarnya, aku agak takut kalau harus akting sendirian. Apalagi, penyamaranku adalah sebagai tukang bakso random yang tiba-tiba muncul di kompleks ini. Aku harus bilang apa pada Pak Wawan? 'Permisi, Pak. Saya tukang bakso baru di sekitar sini, baru debut hari ini. Denger-denger, Bapak paling tajir di kampung ini, ya? Beli bakso saya, dong, segerobak.' Masa begitu, ya?

Eh, tunggu. Kan, tujuannya untuk mengorek informasi tentang Panji, bukan jualan! Sepertinya, aku sudah terlalu menghayati peranku sebagai tukang bakso yang pekerja keras.

"Dik?"

Suara seseorang menyentakku, membuat lamunanku langsung buyar. Saat sadar, ternyata aku sudah berdiri berhadap-hadapan dengan seorang bapak-bapak berbaju singlet bolong-bolong yang rambutnya sudah putih semua. Astaga, sejak kapan aku di sini? Ternyata, aku sudah membunyikan bel rumah Pak Wawan selagi bengong! Padahal, aku belum siap.

Sial, di saat-saat seperti ini, aku berharap Joshua ada di sini supaya aku bisa kebagian peran mengangguk-angguk sok paham saja seperti biasanya. Tapi, aku sendirian kali ini, dan kalau aku terus bengong di depan bapak yang sudah menatapku dengan kepo ini, kayaknya akan sangat mencurigakan. Aku nggak mau tiba-tiba dia memanggil satpam kompleks untuk mengusirku. Aku, kan, sudah terlanjur punya reputasi sebagai tukang bakso baru yang beken di kampung ini!

"Eh, halo, Pak. Malah bengong sayanya, hehe," aku mengatakan hal paling natural yang bisa kupikirkan saat ini. "Saya... terpana sama kegantengan Bapak."

Goblok! Aku, kan, jadi kayak homo!

"Eh, sori, Pak, maksud saya tadi biar nggak canggung aja. Soalnya kita belum kenal, saya bingung harus ngomong apa—"

Di luar dugaan, bapak-bapak itu tertawa geli mendengar perkataanku. Aku nggak tahu di bagian mananya perkataanku lucu, tapi aku menghela napas lega karena setidaknya bapak ini kelihatan ramah.

[COMPLETED] Fall of the Last FortressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang