38. Joshua

30 7 0
                                    

Anak crazy rich jelas tidak mendapatkan pakaian mereka dari pasar baju bekas.

Bukannya aku baru tahu itu, sih. Tetapi, tetap saja, saat benar-benar berpencar dengan Gwen untuk menyisir seluruh penjuru pasar demi selembar kostum penyamaran, aku stres berat. Baju-baju di sini memang murah, dan duit pinjaman dari Iris tidak bakalan terpakai seperempatnya, tetapi bahkan kaos sumbangan yang kukenakan saat ini kualitasnya lebih bagus daripada hampir semua barang dagangan yang bisa kutemukan.

Pada akhirnya, aku menyerah juga. Jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan malam saat aku akhirnya menjatuhkan pilihan pada sebuah jaket kulit hitam yang, jujur saja, masih kelihatan seperti jaket tukang ojek pengkolan, dan aksesoris berupa kalung logam imitasi untuk menggantikan kalung infinity IMS-ku, yang hari ini bakal kedapatan peran di kantong celana, kecuali sandiwaraku butuh properti tambahan. Untung saja pakaianku hari ini cukup netral, sehingga aku nggak perlu membeli terlalu banyak baju dan aksesoris tambahan. Yah, anggap saja anak crazy rich ini goblok dan sering kena scam saat sedang berbelanja pakaian.

(Omong-omong, jaket kulit kualitas abang-abang ini baunya nggak karuan, seperti bau plastik bercampur bahan kimia. Semoga aku nggak harus melakukan peran yang melibatkan percakapan jarak dekat, soalnya selain bakal ketahuan banget kalau jaket ini murah, aku juga kasihan pada siapa pun yang harus mencium baunya.)

Aku menunggu Gwen di pintu keluar pasar, yang letaknya tepat di samping jalan raya yang ramai, sembari mengawasi jalanan kalau-kalau ada taksi kosong yang lewat. Pandanganku masih terpusat pada kendaraan-kendaraan yang berlalu-lalang saat tiba-tiba, suara Gwen terdengar dari balik bahuku. “Belum ada, taksinya?”

Aku menoleh. “Belum, nih—”

Kalimatku terputus di tengah jalan.

Holy crap. Aku hampir mengira sedang bermimpi.

Di belakangku, Gwen berdiri tegak dengan ekspresi datar dan awas seperti biasanya. Walaupun tas ransel yang digendong masih tetap sama, dengan mini-dress hitam tanpa lengan berpotongan leher rendah dan high heels berwarna senada, sekilas, cewek itu benar-benar tampak seperti orang lain. Mungkin dress dan sepatu itu juga berkualitas buruk seperti jaket kulitku, tetapi di tubuhnya, entah mengapa, semua barang itu kelihatan mahal dan bermerek, membuatku nyaris tidak bisa berkedip selama beberapa detik.

Gwen tampak… menawan. Apakah ini karena pembawaannya yang cocok dengan penampilan glamor seperti ini? Atau karena bibirnya yang dipoles lipstik berwarna gelap alih-alih dibiarkan pucat polos seperti biasanya?

Sejak kecil, aku sudah tahu bahwa Gwen memang cantik. Matanya yang lebar dan tegas, walaupun selalu kelihatan seperti sedang menelanjangi lawan bicaranya tanpa belas kasihan, dipadukan dengan hidungnya yang kecil dan bibirnya yang tipis, benar-benar membuatnya kelihatan seperti berasal dari dunia lain. Tambahan lagi, kulitnya yang putih bersih juga membuat sosoknya semakin menarik perhatian di tengah kerumunan. Tetapi, malam ini, tanpa kaos lengan panjang dan celana jins luntur yang biasa dikenakannya, aku hampir tidak bisa memercayai pesonanya yang begitu langka dan elegan. Rasanya seperti ditampar, diingatkan bahwa teman masa kecilku yang dulu berpenampilan seperti cowok ini sudah tumbuh menjadi wanita dewasa dan mungkin aku beruntung bisa bertemu dengannya sebelum lebih banyak orang mulai menyadari kecantikan satu di antara seribu itu.

“Kenapa?” Gwen bertanya, lalu tersenyum simpul sambil mengangkat sebelah alis. “Segitu terpesonanya, ya?”

Ya ampun, barusan aku kelihatan kayak orang mesum. Wajahku mendadak terasa panas, tetapi aku masih bisa memaksakan seulas senyum jahil seolah tidak ada apa-apa. “Iya, nih,” balasku sok santai. “Sampe lupa, kan, mau cari taksi. Nggak fokus, saking memikatnya kecantikan seorang Gwen malam ini.”

[COMPLETED] Fall of the Last FortressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang