74. Alice

22 3 0
                                    

Aku membuka mata perlahan dan mendapati sebuah kain sedang menutupi pandanganku. Kepalaku terus berdenyut-denyut dan terasa nyeri. Kaki dan tanganku diikat ke kursi dengan tali tambang yang sangat kuat. Mulutku disumpal dengan kain yang terasa pahit. Bau ruangan ini sama seperti bau rubanah tempat persembunyian Panji, yang artinya kami belum dikeluarkan dari sana. Ingatanku juga sedikit samar.

"Umph..." Aku berusaha membuat suara untuk mengecek apakah Rosaline atau Sam juga ada di ruangan ini bersamaku.

Tidak ada jawaban.

Apakah artinya aku sendirian di ruangan gelap ini?

Aku berusaha melepaskan ikatan tali tambang di tanganku dengan paksa, namun tidak ada yang berubah. Aku pernah lihat di film kalau bisa melepaskan ikatan kaki di kursi dengan cara menjatuhkan kursi dan menggeliat. Aku mempraktekkan apa yang kulihat, namun aku hanya bisa melakukan bagian menjatuhkan kursinya saja, tapi tidak berhasil melepaskan ikatan di kakiku karena lilitan talinya terlalu banyak.

"Panggil Bos, anak itu sudah bangun." sebuah suara pria terdengar dari ruangan yang sama denganku.

Tidak lama kemudian, terdengar suara pintu terbuka dan derap langkah ke arahku. Bos katanya? Apakah derap langkah itu milik Panji? Apakah akhirnya aku akan mati di tangan pria yang juga membunuh kedua orang tuaku?

Aku meronta dengan panik, berusaha untuk melepaskan ikatan tubuhku sambil berteriak minta tolong.

"Alice tenang, ya." Alih-alih disambut dengan suara asing, aku malah disambut suara orang yang sangat kukenal...

Ia membantu kursiku kembali berdiri dan melepaskan penutup mata dan sumpalan di mulutku. Seperti yang kuduga, ia mengenakan jubah dan topeng putih untuk menutupi identitasnya. Tapi meskipun ditutupi, aku tahu kalau sosok yang kini sedang bersamaku adalah Catherine. Aku juga tahu pasti 'Bos' yang Andrew maksud pasti bukan Catherine, apakah ini taktik lain yang mereka berusaha mainkan pada pikiranku?

"Mau apa lo?" tanyaku sambil menyeringai ke arahnya.

"Maaf, aku udah berusaha meringatin kalian, tapi kalian susah banget dikontrol. Aku mau nggak mau terpaksa nurut buat ngelakuin ini." Catherine memelas.

"Simpan omong kosong lo Cath, gue bukan lagi Alice yang bisa lo bodohi kayak gitu." sahutku sambil membuang muka.

Catherine tampak terkejut. Mungkin ia tidak pernah mengira aku bisa berbalik menyerangnya. Tetapi, ia tetap bersikukuh memainkan peran sok baiknya kepadaku, "Tapi aku beneran nggak bermaksud Lice, aku—"

"Alah, bullshit! Lo itu brengsek Cath." Aku sendiri terkejut saat umpatan itu meluncur dari mulutku, meskipun dengan mata yang kini sudah berkaca-kaca. Jujur, ternyata mengumpat itu terasa melegakan. "Kalo lo nggak bermaksud, kenapa gue diiket gini? Kenapa temen-temen gue lo sekap? Kenapa lo masukin alat penyadap di kalung persahabatan kita?"

"I-Itu bukan ideku... Bahkan aku juga beli kalung yang sama buat gantiin kalungku yang lama, kok. Ada di kamarku kalo kamu mau lihat, aku bisa ambil—"

"Tapi lo kan yang nuker kalungnya?" potongku sambil menatap tajam ke arahnya. "Fakta bahwa lo sengaja nyekap gue disini sendirian tanpa Rosa dan Sam biar mereka nggak berusaha nyadarin gue dari buaian bullshit lo, kan? Tapi lo salah Cath, gue udah bukan Alice yang mudah dibodohi kayak yang lo tulis di papan waktu itu."

Aku mengeraskan rahang, menahan air mata yang sudah menghalangi pandanganku tumpah dari asalnya. Tapi daripada takut, aku lebih ke marah. Selama ini aku memendam emosiku karena aku tidak ingin menyakiti orang lain hanya karena aku terluka sangat dalam. Tapi kali ini, aku menemukan orang yang tepat untuk meluapkan seluruh emosi yang selama ini kupendam.

[COMPLETED] Fall of the Last FortressTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang