54. Jennifer

34 8 0
                                    

Catherine mematung di tempat setelah mendengar bahwa Andrew, si Penyusup, sudah ketahuan. Benar-benar menjijikkan. Padahal, ini salahnya sendiri lantaran tidak mau mendengarkan peringatanku. Kalau saja Andrew dilenyapkan sejak awal, tidak akan ada kejadian seperti ini. Sama halnya dengan teman-temannya yang membuatku gerah itu.

"Kan, gue udah tahu kalo Penyusup bakal jadi penghalang." dengusku.

Kami memang memasang penyadap di salah satu anggota lain bocah-bocah itu untuk mendengar lebih banyak selain dari Andrew. Ini karena dari awal, aku sudah curiga pada cowok pengecut itu. Dia terlalu terbawa perasaan, dan mendasari semuanya dengan hati bukannya otak. Dia jadi tolol sejak sahabatnya yang lebih menyebalkan itu kusingkirkan sebelum membocorkan semua rencana Papa dan identitas kaki tangannya. Aku juga mengendus perasaannya pada Alice, yang juga membuat Catherine yang sudah ceroboh menjadi lebih bodoh dari aslinya.

Aku menghela napas panjang sambil merampas headphone di tangan Catherine yang kini gemetaran. Hanya terdengar suara memanggil-manggil nama cewek sialan yang membuat rencana Papa menjadi jauh lebih sulit dari awalnya. Aku melepaskan headphone dari telingaku sebelum pekak karenanya.

"Gue mau lapor sama Papa." kataku, menyeret Catherine menuju ruangan Papa dan menggedor pintunya.

Tidak lama, Papa muncul sambil tersenyum ramah pada kami. "Ada apa, Sayang?" tanyanya.

Dengan perasaan sangat kesal, aku mengempaskan pantat ke sofa kerja Papa dan menyeletuk, "Si Penyusup ketahuan. Dan entah udah berapa kali Queen bilang ini, dia berbahaya buat rencana Papa. Dia berbahaya buat kita semua."

Jadi, biarkan aku menikamnya. Sekali, dua kali saja, hanya sebagai pelajaran.

Tentu saja aku tidak mengatakan itu. Papa tidak pernah mengerti jalan pikirku.

Raut wajah Papa yang semula tenang menjadi sedikit terkejut. "Bagaimana kamu bisa tahu?"

"Kita udah ninggalin alat penyadap lain buat mastiin kalo Penyusup memang beneran berkhianat, kita masih bisa jalan. Selain itu, ini udah keseribu kalinya Queen bilang kalo Penyusup mematikan alat penyadap Papa di ponselnya. Bahkan Queen sama Princess juga bisa kalo cuma matiin alat penyadap murahan itu. Papa nggak mau langsung jeblosin dia ke penjara atau gimana?" celotehku sambil menyilangkan tangan di depan dada. "Atau jangan-jangan Papa udah lebih sayang dia daripada kita?"

Papa langsung membelai rambutku dengan lembut, "Nggak ada orang yang lebih Papa sayang daripada kalian. Soal Penyusup, oke, Papa sudah tahu dia memang diam-diam mematikan alat penyadap itu, tapi dia dan temen-temennya tetep nggak akan bisa melampaui rencana kita. Kita punya polisi, lembaga pemerintah, dan preman-preman yang siap mati melindungi kita, bahkan kalau Stenley sendiri yang bergerak, tetap kita yang akan menang. Lagipula, Papa juga sudah mengantisipasi soal dia berkhianat itu. Papa sudah menyebarkan informasi palsu di deep web, dan sepertinya anak itu sudah masuk perangkap beberapa kali."

Aku berdecak kesal. Papa kenapa, sih? Ini nggak seperti dirinya. Biasanya, kalau ada seseorang yang membuat posisi kami terancam, Papa nggak akan ragu mengizinkanku melenyapkan orang itu, seperti pada kasus Willy si Preman dulu. Tapi, entah kenapa, kalau sudah menyangkut Penyusup, Papa jadi aneh. Rasanya aku ingin menggebrak meja dan menghancurkan kantor Papa sekarang. Tapi, kalau terlalu merengek, bisa jadi Papa malah makin nggak memerbolehkanku bertindak.

Aku menghela napas panjang. Aku tidak suka rasa percaya diri Papa. Aku tahu pasti ia jenius dan rencananya sudah tersusun selama bertahun-tahun, tapi ia tetap harus mencurigai Andrew dan tim kepo-nya, kan? Lagipula, anak-anak itu tidak bisa dianggap remeh. "Queen tahu, tapi tetep aja kita harus hati-hati. Kesalahan sekecil apapun bisa membuat kita langsung tamat, Pa. Apalagi di pihak mereka juga ada inspektur dari kepolisian. Bisa jadi orang-orang kepercayaan Papa berkhianat juga, kan?"

[COMPLETED] Fall of the Last FortressWhere stories live. Discover now