KEHENDAK TERBIT CETAK

160 28 10
                                    

"Kalau udah publish di platform X, bisa terbit cetak nggak?"

Pertanyaan di atas adalah pertanyaan paling klasik yang sering saya dapatkan kalau membahas mengenai platform menulis bersama teman-teman penulis.

Menurut kamu, penting nggak sih terbit cetak itu?

Kenapa penulis pengen banget terbit cetak?

Pertanyaan paling klasik kedua yang sering saya dapatkan adalah, "Kalau terbit cetak di penerbit X bayar nggak?"

Pengen ketawa aja saya tuh kalau dapat pertanyaan begini.

TUJUAN MENULIS

Setiap hal yang kita kerjakan, hendaklah punya tujuan, punya goal besar. Pada zaman dulu, setiap penulis memiliki berbagai macam tujuan. Contohnya, Multatuli atau Eduward Douwes Dekker menulis Max Havelaar untuk mengusik nurani pemerintah Hindia Belanda yang memperlakukan pribumi dengan sewenang-wenang, mulai dari tanam paksa sampai mengambil kerbau yang menjadi satu-satunya alat menggarap sawah. Tentunya buku harus dicetak agar dapat dibaca orang banyak dan syukur-syukur dibaca oleh pihak yang berkepentingan.

Pada era Multatuli, cara mudah menyampaikan gagasan memang dengan mencetak buku. Sebab belum ada televisi apalagi internet untuk menyebarkan tulisan.

Beranjak kepada zaman kemerdekaan sampai awal tahun 2000-an, media Penulis untuk mewartakan tulisan yang paling efektif memang tetaplah buku. Makanya penerbit mayor menjamur. Mereka bahkan terkesan sangat congkak karena menerapkan berbagai standar agar tulisan dianggap layak terbit cetak.

Tetapi, zaman berubah, kawan. Sebagaimana Prof. Rhenald Kasali bilang, bisnis sudah pasti menghadapi disrupsi. Sebagai contoh, piringan hitam mulai usang digantikan kaset pita. Lalu kaset pita menghilang digantikan CD, dan kini CD sudah tergerus zaman digantikan MP3, MP4, bahkan platform mendengar lagu pun bertebaran. Dunia sinema mendapatkan tantangan serupa. Bioskop mulai sepi sebab penonton memiliki alternatif tontonan lebih murah dan mudah dibawa ke mana-mana. Dunia literasi ikut terkena imbas. Platform membaca dan menulis bertebaran. Kamu bisa menulis di mana pun, kapan pun, tanpa editor. Meskipun penulis mayor kelihatannya alergi sekali dengan perubahan ini dan mencibir, tetapi perubahan adalah sebuah kepastian.

Maka, alasan penulis ingin menerbitkan buku secara cetak agar dibaca orang banyak sudah tidak relevan. Coba kamu naik transportasi umum di Indonesia. Masih adakah penumpang yang baca buku atau baca koran? Salon langganan saya saja sudah nggak menyediakan majalah lagi, sebab semua tamunya sibuk main HP saat di-cream bath.

Kalau memang seperti ini keadaannya, lalu kenapa kamu masih pengen menerbitkan buku secara cetak? Apakah karena alasan dapat uang?

Temans, saya sudah pernah membahas lho bahwa royalty dari penerbit mayor berkisar antara 8-15% saja, sedangkan royalty dari platform antara 10-70%. Saya pribadi di Cabaca mendapatkan royalty 35%. KBM malah menawarkan royalty lebih fantastis.

Tuh lihat

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Tuh lihat. Penghasilan per bulan Rp. 15 juta itu setara manager di perusahaan kelas menengah lho. Nggak jarang pendidikannya harus S2 agar bisa dapat gaji segitu. Dosen yang gelarnya profesor saja, sebulan paling digaji Rp. 20 juta. Tetapi dengan menjadi penulis platform, sekarang nggak perlu pendidikan formal terlalu tinggi untuk dapat penghasilan belasan sampai puluhan juta sebulan.

Ada penulis mayor yang bilang, "Kalau mau kaya ya jangan jadi penulis."

Lagi-lagi pendapat itu sudah dipatahkan dengan menjamurnya platform yang menawarkan persentase royalty jauh lebih besar ketimbang terbit cetak. Kita bisa kaya sekarang, bisa punya banyak cuan, apa pun pekerjaan kita.

Lalu, kenapa kamu masih pengen menerbitkan buku secara cetak?

SELF PUBLISHED LEBIH MENGUNTUNGKAN

Kalau kamu memang ngebeeeeeeeet banget menerbitkan buku secara cetak, cara paling mudah adalah menerbitkan secara mandiri. Memang, kamu harus keluar uang untuk menerbitkannya.

"Hah? Keluar uang? Kalau nggak laku gimana?"

Nah, kamu aja nggak yakin bukumu laku. Masa penerbit mayor suruh menerbitkan buku yang prospek penjualannya jelek? Apa kamu pikir editor, lay outer, cover designer, dan percetakan dibayar pakai daun?

Makanya saya bikin work ini, sebab semua ya ujungnya duit. Penerbitan pun menerbitkan buku yang diharapkan penjualannya bagus. Kenapa cewek cantik pada nemplok sama Hotman Paris meskipun mukanya tidak tamvan? Karena duit lah pastinya. Kenapa karya di Wattpad yang EBI acak-acakan, cerita nggak ngotak, penuh kehaluan tiada tara, dan miskin pesan moral malah dipinang penerbit mayor dan difilmkan? Ya pastinya karena pihak-pihak yang berkepentingan mencium potensi cuan.

Kalau kamu yakin karyamu bagus dan bakal dibeli banyak orang, kenapa kamu nggak mau keluar modal Rp. 500.000 - Rp. 1.000.000 untuk menerbit cetakkan bukumu sendiri? Keuntungan dari self published kan buat kamu semua. Ya paling potong biaya editor, lay outer, cover designer, dan percetakan. Tapi kalau laris, margin keuntungannya yang besar itu buat kamu semua lho.

Taruhlah biaya pra cetak Rp. 1.000.000. Lalu per eksemplar buku dicetak seharga Rp. 30.000. Kamu jual seharga Rp. 80.000. Rp. 50.000-nya buat kamu semua. Jualan 20 eksemplar pun sudah balik modal.

Jadi gimana dong, terbit platform atau terbit cetak? Takut nih kalau sudah terbit di platform apalagi yang seumur hidup, nggak bakal bisa terbit cetak. Tenang, kamu bisa dapat dua-duanya.

Caranya, kamu terbitkan gratis dulu di Wattpad, terus lihat sambutan pembaca. Kalau rame, terbitkan mandiri saja di penerbit indie. Coba jual sampai batas tidak laku. Kalau terbit cetaknya sudah tidak ada yang beli, baru ajukan ke platform berbayar. Saya lakukan ini pada Devils Inside. Pada tahun 2017 pernah saya terbitkan cetak secara self published. Tahun 2019 setelah yang beli makin sedikit, saya kirim ke Cabaca dan lumayan laris sampai sekarang.

Screenshot tanggal 13 April 2021

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Screenshot tanggal 13 April 2021. Tentunya jangan lupa promo terus dong ya.

Apakah saya akan menerbitkan cetak semua buku saya? Jawabannya adalah tidak, karena saya nggak yakin bakal laku minimal 100 eksemplar. Jualan buku itu nggak mudah kalau fans kita belum banyak. Sebab harganya mahal, nggak seperti tempe goreng yang sepotong cuma Rp. 1.000,-. Belum lagi terbentur ongkir. Ada tuh dulu pembaca saya di Jerman batal beli karena ongkirnya mahal banget, jauh lebih mahal ketimbang harga buku.

💋💋💋💋💋

Apakah kamu masih ngebet nerbitin buku? Apa alasannya?






Write Without FearWhere stories live. Discover now