MENTAL MISKIN

232 52 2
                                    

Saya adalah salah satu penonton channel YouTube Raditya Dika

Oops! Această imagine nu respectă Ghidul de Conținut. Pentru a continua publicarea, te rugăm să înlături imaginea sau să încarci o altă imagine.


Saya adalah salah satu penonton channel YouTube Raditya Dika. Dia memang terkenal sebagai penulis novel serta skenario film. Karyanya terbukti sukses sehingga wajar kalau dia membuka kelas berbayar.

Nggak ada yang salah ketika seseorang mencari nafkah dengan mengajar dan mendapatkan honor dari apa yang dia lakukan. Masalahnya di sini adalah MENTAL MISKIN yang dimiliki sebagian pelanggan channel-nya.

Komentar seperti,

"Ada yang mau beliin tiket?"

"Pengen ikut sih, tapi gak ada duid."

"Ya sebenernya pengen ikut tapi apalah dayaku masih sekolah, jajan minta Mama."

"Saya kira gratis."

"Jadi acara amal aja deh, Bang."

Dan masih banyak komentar-komentar senada. Banyak calon penulis yang mengharapkan sukses tapi nggak mau berkorban. Entah berkorban waktu, tenaga, apalagi uang. Mereka berharap kesuksesan datang sendiri, jatuh dari langit. Dengan kata lain, masih bermental miskin.

Kalau kamu belum punya uang sekarang dan memang niat banget mau mengikuti kelas, ucapkan pada diri sendiri, "Aku mau cari uang untuk ikut kelas itu."

Banyak jalan menuju Roma. Orang yang lahir kere, bisa mati dalam keadaan kaya. Kamu cari saja referensi pengusaha kaya. Banyak kok yang lahir di rumah sempit atau dekat kandang ayam. Bahkan Presiden Jokowi juga tadinya miskin. Tetapi hal yang membedakan orang-orang sukses dengan orang-orang gagal adalah MENTAL.

Orang sukses sadar bahwa ada harga yang harus dibayar untuk meraih kesuksesan. Orang bermental miskin selalu mengharap uluran tangan orang lain, maunya dibantu.

Saya mau sedikit curhat mengenai pengalaman menjadi admin di beberapa grup kepenulisan. Sering mendapat tugas mengundang tutor yang bersedia membagikan ilmu tanpa bayaran uang. Hanya sekadar follow atau share banner saja, kenapa banyak yang mengeluh?

Padahal nih, saya menjadi admin grup itu, melobi tutor sana-sini, nggak semuanya berhasil. Banyak yang menolak. Apakah saya dibayar oleh grup itu selama jadi admin? Tidak. Lalu kenapa saya tetap mau menjalankan tugas gratisan padahal saya juga kerja? Karena saya memahami, untuk mendapatkan ilmu, ada harga yang harus dibayar. Dan saya nggak memperhitungkan. Saya luangkan waktu untuk mengurus grup dengan niat untuk belajar.

Lagi ya, saya bergabung di grup kepenulisan bernama theWWG. Grup itu membuka keanggotaan gratis. Syaratnya cuma install Line. Itu pun masih banyak yang mengeluh memorinya penuh. Ya ampuuun.... Padahal mau dikasih ilmu gratis, bimbingan gratis, masih aja nggak bersyukur. Mikir kek gimana caranya. Heran saya tuh.

Pandji Pragiwaksono bilang kalau mau sukses harus give, give, give, baru ask. Jangan maunya hasil dulu, usaha nggak ada.

Bumi ini berputar, Temans. Kamu akan tertinggal kalau masih bermental miskin. Seorang guru juga nggak bakal mau memberikan ilmu pada muridnya yang pemalas. Malas mencari uang untuk menuntut ilmu juga termasuk pemalas.

Lalu kamu mau bilang, "Tapi aku beneran nggak punya uang. Gimana, dong?"

Saya kasih tahu cara yang bisa kamu lakukan buat dapat uang. Ketuk rumah tetanggamu, tawarkan pada mereka untuk membersihkan selokan. Terima saja mau dikasih berapa. Pakai uangnya buat ikut kelas meningkatkan skill.

Malu?

Iya itulah mental miskin. Sudah tahu nggak punya duit, tapi malu berusaha mengerjakan yang halal. Mental miskin itu terlalu perhitungan, nggak mau mengeluarkan banyak tenaga, menghitung sampai rupiah sekecil-kecilnya untuk upaya yang dikeluarkan.

Dulu, saat awal bekerja, saya pernah dibayar cuma Rp. 35.000 / hari untuk kerjaan kantor 8 jam. Sangat jauh di bawah UMP di tempat saya tinggal. Teman saya sampai heran, kenapa dengan bayaran sekecil itu saya tetap bersemangat? Saya dituduh menjilat, mau mengincar posisi penting di kantor.

Lucu kan?

Pulang kerja, saya memberi les untuk mencari tambahan. Pulang ke rumah pun sudah benar-benar capek. Tapi saya bersyukur karena mendapatkan banyak ilmu dan relasi dari pekerjaan itu.

Bagi saya, apa pun yang kita kerjakan dengan kesungguhan hati, maka Tuhan akan mengganjarnya.

Apakah penghasilan saya lalu saya habiskan untuk konsumsi, beli gadget atau skin care? Tidak. Saya ikut berbagai kelas dan kursus untuk meningkatkan skill. Saya percaya skill adalah investasi terbesar. Kalau uangmu habis, kamu bisa cari lagi dengan memanfaatkan skill. Makanya saya berusaha menyisihkan penghasilan untuk belajar apa pun.

Saya berusaha membunuh mental miskin dalam diri untuk kebaikan diri sendiri. Lahir dalam keadaan miskin, jelas bukan salah kita. Tapi mati dalam keadaan miskin, tentu ironis. Nggak jadi miliarder pun nggak masalah. Asalkan bisa menopang diri sendiri. Gimana caranya? Tingkatkan skill. Jangan pelit mengeluarkan ilmu untuk belajar. Terapkan ilmu itu dalam kehidupan.

Zaman berubah. Maka kita wajib berubah kalau nggak mau mati terlindas.

Apakah menulis butuh skill? Jelas. Dan ilmu yang harus dikuasai bukan hanya ilmu menulis, melainkan ilmu memasarkan tulisan agar ada yang mau membaca.

Write Without FearUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum