GAYA MENULIS

568 68 40
                                    

Sebelum kita lari ke sana kemari, jawab dulu pertanyaan ini. Temans termasuk orang yang seperti apa?

Idealis atau Realistis?

Mengacu pada KBBI V,

Idealis: Orang yang bercita-cita tinggi

Misalnya kamu punya cita-cita mengubah karakter seluruh wanita Indonesia menjadi kuat, percaya diri, dan cerdas. Kamu pun menciptakan tokoh utama cewek yang sesuai cita-cita tersebut, nggak boleh lemah, anti menye-menye, dan harus menjunjung woman empowerment. Kayak Kak TheEod.

Baca aja karya-karyanya. Kamu yang bercita-cita menikah, jadi ibu rumah tangga yang serba dilindungi, diayomi, dan dinafkahi, bakal gerah baca ceritanya. Nggak akan ada tuh cewek polos diperkosa CEO ganteng, dinikahi, lalu jatuh cinta. Soalnya tokoh utama ceweknya beneran kelihatan mandiri banget, bahkan bisa membela diri sendiri. Senggol bacok deh.

Tapi kamu yang berjiwa feminis bakal suka.

Atau seperti Kak SukiGaHana yang antiporn. Jangan harap menemukan adegan mantap-mantap dalam ceritanya, karena Kak Suki bercita-cita menghapuskan seks pra nikah dari Indonesia.

Realistis: Bersifat nyata, bersifat wajar.

Kamu menulis sesuai keadaan masyarakat. Misalnya, cewek malas kuliah dan pengen nikah aja demi menghindari skripsi.

Kamu menulis kisah anak SMA yang pacaran sampai mantap-mantap di rumah saat papa mama tak ada.

Kamu menulis kisah karyawati yang di-bully bos tapi ujungnya menikah.

Kamu menulis demi hal yang wajar diinginkan hampir semua manusia: UANG

📖 📖 📖

Jadi mana yang lebih bagus?

Nista nggak  menulis adegan mantap-mantap? Kalau nista, kok banyak yang baca?

Jangan salah, Menkominfo memblokir situs bokep karena banyak yang nonton. Kalau nggak banyak yang nonton, nggak bakal diblokir.

Sudah hukum alam, manusia suka baca dan nonton adegan seksual. Jadi kalau mau dibilang penulisnya nista, maka pembacanya pun sama nistanya.

Kak Maya Lestari GF, salah satu penulis senior bilang begini, "Setiap buku akan berjodoh dengan pembaca yang levelnya setara dengan dia. Samalah kayak jodoh beneran. Umumnya orang berjodoh dengan yang selevel dengan dia."

Artinya apa?

Kalau kamu merasa punya IQ 160, setara Stephen Hawking, lalu menulis topik 'dewa', ya jangan sedih kalau pembacamu sedikit. Rata-rata orang Indonesia punya IQ 87, kita bisa mengira-ngira topik seperti apa yang disukai kebanyakan masyarakat kita. Saya nggak fitnah lho. Ini ada sumbernya.

Kalau kamu menulis soal wanita yang mengejar beasiswa S3 ke Jerman padahal dia sudah berusia 28 dan belum menikah, harus siap-siap dengan komentar, "Udahlah, Mbak, jangan sekolah tinggi-tinggi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Kalau kamu menulis soal wanita yang mengejar beasiswa S3 ke Jerman padahal dia sudah berusia 28 dan belum menikah, harus siap-siap dengan komentar, "Udahlah, Mbak, jangan sekolah tinggi-tinggi. Nikah aja dulu. Nanti cowok takut lho."

Karena beginilah kondisi masyarakat Indonesia, lebih mementingkan perkawinan daripada pendidikan.

Makanya topik-topik gadis biasa ditaksir bos, apalagi sampai dinikahi, hidup bergelimang harta, akan sangat disukai pembaca. Kalau dicetak dan dijual, banyak yang berminat.

Cerita romance dengan bumbu adegan mendesah pun banyak peminat. Malah kalau cek Play Store, yang terlaris adalah novel semacam itu.

Nggak ada yang salah. Penulisnya realistis. Dia mewujudkan impian pembaca novel Indonesia yang kebanyakan perempuan dan dituntut untuk menikah pada usia tertentu, dengan laki-laki yang mapan.

Saya belum membahas soal uang.

Lanjut ke pertanyaan selanjutnya.

Kamu menulis buat apa?

Kalau kamu menulis demi hobi atau untuk menyalurkan uneg-uneg, ya sudah, itu hak setiap orang.

Tetapi, kalau kita ingin tulisan kita menggaet banyak pembaca, tentu harus mempertimbangkan hal lain seperti selera pasar, topik yang diambil, dan lain-lain.

Tapi, percaya deh, menulis karena mengikuti selera pasar itu nggak enak. Kayak ada batu yang menindih. Padahal bagi saya, syarat utama menulis ada dua:

1. Tulus
2. Bahagia.

Kalau tujuan kita menulis demi menyenangkan orang lain atau demi uang, kita nggak bakalan bahagia.

Saya sendiri berusaha banget memperbaiki tujuan menulis. Tentu saya juga punya idealisme. Paling nggak berusaha riset. Itu pun masih ada yang keliru. Apalagi kalau nggak riset?

Sampai sini masih ada yang mau lanjut? Saya bakal nulis chapter kesukaan sejuta umat:

CARI UANG MELALUI TULISAN.

Write Without FearWhere stories live. Discover now